Tuesday, November 23, 2010

Huruf A

Setelah lama terjerat pekerjaan, inilah catatan terbaru saya.

Uhm. The letter A shaped runway diagram.

Sabtu | 2010.11.20 | Api
Kali ini cerita tentang bagaimana saya membangun panggung untuk fashion and passion, Thời Trang và Đam Mê. Sebuah acara tentang mode yang membuat saya jungkir balik. Karena brief dan keputusannya tak kunjung bertemu. Seperti yang bisa dilihat di atas, itulah catwalk diinginkan. Ya, betul! Dengan kolam air!

I don't really 100% understood this project. But this was the time that 'alright, I'll play by your rules'. The feeling was like the time I was fourteen and the teacher forced me to accept the formula which I believe is illogical. But hey, maybe this time I'm the crooked one. Kali ini saya hanya mengiyakan, tanpa tanpa banyak berargumen lagi.

Namun, dari semua segala kerumitan ternyata kolam air bisa dikerjakan. Yang sungguh menarik, ada semacam pompa kecil yang dipasang dalam kolam sehingga airnya terus beriak-riak kecil. Ditambah lagi, lantai dasar di bawah kolam di cat biru muda, sehingga tampak segar.

Jernih. Bening tapi tak bening.

Ngomong-ngomong soal panggung dan air, mengintip dari http://images.google.com banyak panggung-panggung fashion yang benar-benar dibanjiri dan digenangi air. Dan mengapa nggak berani nekat dan mencoba hal baru? Beats me...

Plus, I also don't get the idea of these purity and premium. Come on, premium waters are sold in bottles and spesific places. Not, I repeeat, not in plastic bottles sold in nearby 'warung'. Nah, kembali ke hal-hal baik....

Diagram USS Enterprise. Enggak nyambung satu sama lain.

Setelah gonta-ganti keputusan, akhirnya diputuskan menggunakan panggung lama dan menambahkan panggung mini. Nah, panggungnya pun nggak nyambung sebenernya. Yang lama bundar dan yang baru empat persegi. Masukin neon ke soket bohlam. Kelihatan seperti kapal yang dikomandoi oleh sang kapten Jean Luc Picard. Tapi biarlah.

Cap. Cepuk ganda di dinding.

Selasa | 2010.10.23 | Lumpur
I got a mixed feeling about this project. Benar-benar gado-gado perasaan. Pertama kali membangun dua panggung baru dan satu daur ulang. Memandori dalam bahasa Việt. Dan pertama melakukan sesuatu tak sepenuh hati di sini. Tapi, by the end, merasa ada sedikit sesal karena tak mengerahkan seluruh kemampuan karena sempat kesal di awal-awal. Jadi pelajaran penting dari proyek ini adalah, sekesal-kesalnya, jangan pernah buang body.

Hal yang paling menyenangkan saat mengerjakan pekerjaan ini, saya mulai bisa masuk ke lingkungan para pembangun set. Mulai hilang jarak antara saya dan mereka. Komunikasi semakin lancar, artinya pekerjaan-pekerjaan yang makin rumit akan lebih mudah diselesaikan dan makin mungkin mencapai pekerjaan yang lebih sulit lagi.

Dan pengalaman yang juga berharga adalah, bagaimana membangun sesuatu yang tampak bagus di kamera. Sehingga bisa menjadi sebuah talkshow yang lumayan. Seperti yang sebelumnya saya pelajari tentang motion graphic untuk Việt Nam Idol, tapi itu cerita lain.

Air
Setelah selesai membangun panggung ini. Ada perasaan lega. Namun yang paling terasa adalah rasa 'lapar' untuk memperbaiki dan belajar sesuatu yang baru lagi. Karena saya merasa panggung ini masih kelewat sederhana dan masih bisa tampak lebih bagus di kamera.

Proyek ini juga menyegarkan ingatan saya tentang point of no return. Banyak ketidaksempurnaan yang terselip di proyek ini. Kalau melihat panggung ini, pasti ada teman saya tertawa terkekeh-kekeh meledek sambil ngomong, "Kerapihan dinilai." Tapi perjalanan harus berlanjut, jangan terlalu lama menengok ke belakang.

Lalu, saya juga mengingatkan diri saya sendiri, "Mengapa kamu pergi ke negeri ini? Untuk mengerti lebih banyak lagi bukan? Karena perjalanan ini akan berguna tak hanya untuk dirimu sendiri bukan?" Sebuah pernyataan yang terus saya tempelkan di benak. Sebuah gagasan yang membantu saya maju terus.

Tuesday, November 9, 2010

Banjir, Tsunami, dan Gunung Meletus

Infografik tentang gunung api di Tempo Interaktif.

Beberapa minggu yang lalu, beruntun bencana menimpa beberapa lokasi di Indonesia. Banjir, tsunami, dan gunung meletus. Ketiga hal tersebut membuat saya was-was karena saya sulit mengantisipasi bencana-bencana tersebut karena karena saya sedang tidak di Indonesia.

Ya, tentu saja saya harus mengantisipasi bencana-bencana yang terjadi di tanah kelahiran saya, karena akar saya di sana. Kedua orang tua, kedua mertua, sanak saudara dan handai taulan masih tersisa di Indonesia. Bagian hidup saya.

Soal terendamnya Jakarta, sesungguhnya saya enggan menyebut banjir yang terjadi di ibukota sebagai bencana. Alasannya, Jakarta masih memiliki kuasa untuk mencegah banjir.

Gempa bumi yang menyebabkan tsunami bukan sesuatu yang dapat kita cegah. Begitu pula dengan gunung meletus. Jadi, saya tak enggan mengategorikan gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus sebagai bencana. 

Nah, walaupun ada bencana yang tak bisa dicegah namun semuanya dapat dikendalikan. Setidaknya, manusia mampu mengendalikan dampaknya. Caranya? Bisa Anda gali di Google dan bongkar-bongkar Wikipedia untuk mendapatkan informasi tersebut.

Dalam rangka berbagai informasi, saya membuat infografik tentang gunung api. Diagram yang tayang di TempoInteraktif ini tak berhubungan langsung dengan letusan gunung Merapi beberapa hari lalu, hanya beberapa catatan menarik yang saya kumpulkan dari sana-sini. Saya berharap infografik ini berguna.

Di masa mendatang, saya akan berbagi berbagai infografik yang dapat menjadi pedoman untuk Anda. Tentunya dalam bahasa Indonesia. Setidaknya itulah keahlian saya yang bisa saya bagi kepada Anda. Setidaknya itulah yang bisa saya lakukan.

Belasungkawa.

Tuesday, October 26, 2010

Idola Vietnam

Sepuluh Besar Vietnam Idol

Sudah dua minggu ini pontang-panting mempersiapkan Vietnam Idol. Mulai dari konferensi pers kedua sampai dengan pertunjukan langsung untuk disiarkan dalam skala nasional di VTV6. Pegel.


Awal bulan Oktober, kepala departemen desain di kantor mengundurkan diri. Tentu saja, tak bisa tidak, saya mengambil alih. Enam bulan jadi deputy, lalu sekarang jadi PJS departemen desain. Ya ampun.


Saya kembali mengalami lompatan besar bulan ini. Dari sebelumnya yang hanya mengurus cetak mencetak dan membangun studio virtual yang tak pake ongkos, sekarang mulai membangun panggung sungguhan. Nah, dengan adanya rekan kerja saya yang baru, saya bisa mendelegasikan tugas tersebut. Kelebihan rekan kerja saya ada dua; 1. Mampu membuat desain panggung dan, 2. Bisa bahasa Viet. Ha ha ha.


Hal paling penting yang saya pelajari dalam bulan ini adalah aplikasi ucapan Ki Hajar Dewantara;
Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Sederhana, tapi benar-benar berguna. Namun ada sedikit tambahan: demand. Kata demand ini saya pelajari buku tentang Leadership yang dikarang oleh John Adair. Menurut Adair, pemimpin yang tidak demanding tak bisa menyeret yang dipimpin menjadi lebih baik.


Tentang kepemimpinan ini, saya menuliskannya pada blog TempoInteraktif. Semacam rangkuman sederhana. Dengan diagram-diagram sederhana, ternyata Adair bisa menjelaskan berbagai hal kompleks nan rumit. Mudah untuk saya yang awam soal kepemimpinan.


Baru kali ini saya mengalami suka duka menjadi manajer. Ternyata tak tergambarkan kalau tak mengalaminya sendiri.

Wednesday, October 13, 2010

Hampir Mogok

Cerita tentang terlentang tak berdaya.
Beberapa minggu ini, energi saya benar-benar terkuras. Hampir saja saya 'bolos' mengisi blog di TempoInteraktif. Saya sudah berniat 'bolos' tapi tiba-tiba tersedia waktu dan gagasan. Jadi tak berpikir panjang-panjang lagi langsung ambil pena dan menggambar.

Yang belum sanggup saya isi dengan konsisten adalah blog saya yang satu lagi. Tidak mudah untuk menciptakan gagasan dan kemudian menelurkannya. Kinda exhausting. Barangkali saatnya untuk bekerja sama atau memiliki kaki tangan.

Problemnya, mencari kaki tangan —atau lebih jauh lagi menduplikasi diri— tak semudah membalikkan telapak tangan. Alasan mengapa saya 'babak belur' selama dua minggu ini adalah tak memiliki rekan kerja yang bisa saling mengisi. Ditambah lagi —dan memang seharusnya— kedua rekan itu 'dilepas' oleh perusahaan karena membebani kinerja. Akibatnya mesin empat silinder cuman ada dua silinder. Baru dua minggu kemarin satu silinder bisa bekerja kembali. Dan untungnya rekan kerja baru saya ini bisa menutup lubang yang lebar menganga.

Satu lubar berhasil ditutup, kemudian atasan saya meninggalkan kantor untuk proyek lain. Hiyyyah! Tentu saja saya harus mengisi kekosongan posisi tersebut. Secara manajerial tak ada masalah. Namun keahlian software yang dia miliki belum saya kuasai. Harus ada rekan kerja baru lagi....

Ah, untungnya bagian tempat saya bekerja tak sampai mogok. Walaupun beberapa kali ngebul kepanasan.

Saturday, September 18, 2010

Kelebihan Beban

Dua minggu ini benak saya seperti 'gardu listrik yang kelebihan beban'. Untung saja tak ada sekering yang putus atau sirkuit yang terbakar di jaringan otak saya. Saya hanya terus menerus mengantuk kapan pun dan di mana pun serta dalam kondisi apa pun. Gawat.

Istri saya bilang bahwa dalam hampir enam bulan ini saya belajar banyak hal-hal baru, padahal selama hampir sepuluh tahun saya hanya melakukan keterampilan desain saya pada bidang yang sama terus menerus. Saya setuju dengan pendapatnya.

Akibatnya, terbengkalailah beberapa proyek pribadi. Totally sorry for that. But I think my mind just need a decompression. Apalagi, kini sel-sel benak saya berseliweran informasi dalam tiga bahasa; Indonesia, Inggris, dan Vietnam. Pengolahannya pun sering campur aduk. Akibatnya muncul ucapan-ucapan aneh dalam tiga bahasa. Misalnya, "Gì? Không được lah. It can not be done kan?" Kalau dalam bahasa Indonesia kira-kira, "Apa? Nggak bisa lah! Mana mungkin kan?"

Selain itu, saya juga mulai emosional. Lebih mudah tersinggung, marah, dan sedih. Sebenarnya nggak perlu terpengaruh dengan kondisi sekitar, tapi entah kenapa buku-buku jari ini gatal ingin menghajar rahang orang. Untungnya saya paling nggak suka mukul karena setelah mukul tangan jadi tak bisa mengendalikan mouse dengan baik dan main basket jadi ngawur.

Saya sering bilang pada istri saya, "Kamu kok ngomongin bos kamu terus sih? Kalau begitu terus, nanti malah jadi obsesi lho...." Hmmm, sepertinya saya mulai dihinggapi apa pun itu yang pernah menghinggapi istri saya. Walau pun yang hinggap bukan bos. Istri saya pun cengar-cengir dan mengucapkan apa yang saya ucapkan padanya. Ah, nikmatnya saling mengingatkan.

"Kita bisa lebih banyak belajar dari hal buruk daripada hal baik," kata sebuah buku yang pernah saya baca. Petuah itulah yang membuat saya tak pernah mengeluh dan oke-oke saja kalau dicemplungin dalam persoalan yang menyebalkan. Setidaknya, if no body want to fix it, I will fix it. Most of the time I succeed. So, I'm better than them. At least that is what I thought.

Hal lain lagi yang saya dapatkan dari 'kelebihan beban' ini adalah sesungguhnya kita tak pernah benar-benar tersudut. Setiap kali kita terpojokkan, tiba-tiba muncullah bebera opsi yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Hope is always there, we just need to keep the faith.

Hmmm... mati lampu.

Tuesday, September 14, 2010

Lebaran & TempoInteraktif

Selamat merayakan Hari Kemenangan bagi yang merayakannya! Bersiap untuk mengisi hidup dengan kembali 'clean sheet'.



Nah, saya punya ilustrasi baru yang tampil di atas. Ini minggu kedua partisipasi saya mengisi blog di TempoInteraktif milik grup Tempo. Rekan saya, selaku pengasuhnya, meminta saya untuk mengisi blog milik Tempo itu dengan bloggrafis, kolomgrafis, atau apalah namanya. Karena diberi kebebasan, yang tentu saja tak sebebas-bebasnya, saya menerima tawarannya. Jadilah.

Untuk Anda yang belum tahu, saya pernah bekerja di Tempo selama hampir seputuh tahun. Ada sedikit perasaan 'aneh' yang mengobati rindu. Selaku perancang grafis yang menukangi Majalah Berita Mingguan Tempo, saya harus mematuhi berbagai rambu yang relatif kaku. Dalam blog grafis ini saya diberi kebebasan yang belum pernah saya terima sebelumnya. It's kinda liberating.

Ternyata, kebebasan itu malah terasa mengerikan. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa kebebasan itu lebih berat tanggung jawabnya daripada kekangan. Segala macam keputusan kita pikul sendiri konsekuensinya. Kebebasan membuat saya berpikir lebih keras daripada saat diarahkan oleh orang lain.

Oh, ya! Blog di TempoInteraktif itu di-update tiap Senin. Selamat menikmati. Dan ya, tulisan kali ini seperti mengulang post sebelumnya. Pikirannya sedang nyasar sepertinya....

Monday, September 6, 2010

Numpang Beken

Hallo apa kabar? Mulai saat ini saya berpartisipasi di blog milik Tempointeraktif. Klik untuk mengintipnya.

Ada perasaan aneh juga ketika saya diminta membantu untuk meramaikan Tempointeraktif. Rasanya jauh tapi kok rasa-rasanya jarak antara saya dan Tempo hanya dibatasi layar monitor dan keyboard.

Ajakan itu tiba-tiba datang pada saat semangat saya membuat komik mulai tumbuh kembali. Tangan saya sudah kaku untuk membuat komik, tapi saya tak mau hal itu menyeret saya untuk tidak berkomik. Jadi saya mulai membuat komik di blog saya yang satu lagi, yaitu KomikVirtual. Tunasnya mulai tumbuh. Semoga bisa kuat seperti blog ini.

Friday, August 27, 2010

Digital Sketch 2010 08 27



Just a little update. I just have this digital sketch to share. At first I just wanted to doodle with Adobe Illustrator, but it came pretty nice. So, I use it for my Twitter page. Yes, my tweets are mostly in Bahasa.

Okay, see you next post.

Saturday, August 21, 2010

Dari 1977 sampai 2010 (II)



Infografik di atas adalah perkembangan berikutnya dari infografik yang pernah saya poskan sebelumnya.

Walaupun banyak data-data baru yang saya perbaharui, namun infografis ini masih tampak acak-acakan. Ada beberapa sebab, yaitu:

1 | Tidak ada fokus utama
Dalam membuat infografik perlu ada semacam anchor untuk 'mengaitkan' berbagai informasi yang disajikan. Nah, dalam infografik yang saya buat ini, saya hanya menempelkan gambar vektor yang komposisinya tidak seimbang dengan informasi di sekitarnya. Selain itu, anchor yang saya tempelkan itu tidak berinteraksi pula dengan informasi di sekitarnya. Benar-benar tempelan.

2 | Timeline yang tidak konsisten
Di bagian akhir timeline, waktu tampak begitu padat dan tak seimbang dengan waktu di bagian awal. Sehingga waktu yang panjang terlihat pendek dan sebaliknya.

3 | Buruknya pengaturan komposisi informasi
Elemen-elemen grafis dan informasi tidak saling mendukung sehingga terlihat berdiri sendiri. Gambar dan foto tampak bertebaran dan berceceran tanpa maksud yang jelas.

4| Tak memiliki tema warna
Tema warna? Walau terdengar sepele tapi warna berperan penting dalam infografik. Karena warna dapat kita pergunakan untuk memberikan kesan tertentu.

5 | Terlalu banyak informasi tanpa pemilahan
Ya. Dalam infografik kita perlu memilah-milah informasi mana yang bisa disampaikan mana yang tidak. Padahal, di atas, saya berusaha menggabungkan tiga jenis informasi; a. karir b. kecakapan perangkat lunak dan c. informasi kepribadian.

Jadi kalau dibanding-bandingkan, infografik yang saya poskan sebelumnya tampak lebih rapih daripada infografik yang baru di atas. Renovasi infografik ini akan saya lakukan berdasarkan otokritik yang saya lakukan.

Ada yang punya kritik lain?

Monday, August 16, 2010

Digital Sketch 2010 08 16



Gambar di atas adalah percobaan dengan Adobe Illustrator dan 3ds Max.

Selama di Việt Nam, saya diajari berbagai macam oleh rekan-rekan kerja. Mulai dari cara nge-print di bidang besar sampai an membangun virtual set. So, I got nothing to complain. Benar-benar belajar banyak.

Saturday, August 7, 2010

Cap Tangan Bintang Vietnam



Jumat | 2010.08.06 | 17.30
Tempat saya bekerja membuka sebuah bioskop baru, namun desain di atas bukan untuk acara pembukaan bioskop tersebut. Tapi untuk promosi soal pembukaanya.

Para sutradara, aktor, aktris, dan director of photography yang pernah bekerja sama dengan tempat saya bekerja diminta untuk memberikan cap tangannya untuk kemudian ditempelkan di dinding-dinding bioskop. Yak! Semacam Holywood Star Avenue.

Sebagian printed matters saya post di atas. Ada sedikit yang disesalkan. Desainnya persegi empat semua. Di masa yang akan datang harus ada variasi.

Sunday, August 1, 2010

Aduk Kata



Ada aduk-aduk kata yang menarik dari Wordle. Iseng-iseng, saya masukkan alamat blog ini ke kotak input di Wordle. Dan gambar di atas adalah output-nya. Namun warnanya tak seperti itu, saya utak-atik lagi.

Saya tak mengerti kenapa kata 'yang' menjadi begitu besar. Dugaan pertama saya adalah kata tersebut sering muncul. Dan benar! Setelah iseng-iseng ngutak-ngatik, inilah kata-kata yang 10 kali atau lebih muncul dalam halaman pertama blog ini ketika saya memasukkan datanya ke Wordle....

yang (35)
di (30)
dan (22)
tak (17)
dalam (16)
aku (15)
itu (15)
wisnumurti (13)
untuk (13)
saya (12)
ini (12)
albertus (10)

Setelah dipikir-pikir, sangat tidak menarik apabila sebuah blog banyak sekali kata 'yang'-nya. Sebaiknya blog ini mulai menggunakan kata-kata lain selain kata tadi.

Thursday, July 15, 2010

Albertus Wisnumurti

Kamis | 2010.07.14 | 22.00
Hari ini aku sendiri saja di kediamanku di Hồ Chí Minh City, gelap seperti biasanya. Bulan mengintip dari awan yang menggantung. Ruang-ruang di apartemen ini juga temaram, hanya tinggal satu benda bercahaya redup yang siap kupadamkan; laptop penyak-penyok kesayanganku.

Sebelum sempat kupadamkan, di layar browser ada pesan dalam kicauan Tweeter milik Wenni, "Paging Tongsigaangsa & alumni Seni Rupa ITB, just got the bad news, our beloved friend just passed away. Further follow @edykhemod"

Ya ampun! Segera kubalas, "
@Wenni siapa yang 'passed away'?"
"Wisnumurti, doain ya Rat...
."

01.00
Masih termangu, menatap nanar cahaya redup dari keyboard laptop. Tak ada yang bisa kuperbuat untuk meringankan tindihan sesak nafas ini. Tak ada yang bisa mengobati koyaknya hati ini.

Selama tiga jam ini, aku hanya sanggup menuliskan kenangan tentang Wisnu di timeline Tweeter. Ingatan itu seperti air bah, seperti ini...


Selamat jalan Albertus Wisnumurti. Seperti yang selalu kita tahu, masih ada petualangan lain setelah hidup selesai.Albertus Wisnumurti telah tiada. Dia sedikit bicara, banyak bertindak. Mengagumi api yang menyala-nyala, seperti semangat dalam hatinya.Sesekali Albertus Wisnumurti mengungkapkan isi hatinya. Tak mudah dimengerti, namun kita bisa hanyut mendengarnya. Kini kisah hatinya usai.Aku tak begitu mengenal Albertus Wisnumurti. Tapi Wisnu, sahabatku itu, selalu tersenyum di saat-saat sulit.Albertus Wisnumurti terpatri di ingatan dan terpahat di hati sebagai pria yang selalu belepotan cat warna-warni. Seperti cerita hidupnya.Rokok kretek dan kopi kental. Banyak yang sulit untuk bisa menikmati dan menghargainya. Begitu pula Albertus Wisnumurti.Pria itu melayang-layang dalam kepulan asap rokok kretek di atas uap kopi kental panas. Begitulah Albertus Wisnumurti saat berpikir keras.Banyak orang yang sungkan memilih jalan yang tak tahu ujungnya di mana. Sekali lagi, Albertus Wisnumurti menyalip kita di tikungan tajam.Albertus Wisnumurti, kau memang keras kepala. Tapi kali ini aku tahu, kau mendengarkan kisahku tentangmu yang kuceritakan ke khalayak.Kantuk sudah menggantungiku. Kini kujelang tidur. Barangkali dalam mimpi, sempat kuucapkan selamat jalan untuk Albertus Wisnumurti.Tubuhku tak bisa mengaraknya. Air mataku tak bisa membasuhnya. Tapi hatiku sanggup mengantar dan doaku mengiringi Albetus Wisnumurti.Albertus Wisnumurti, istirahatlah sejenak, di dunia tak pernah memejamkan mata apalagi mengenal lelah. Alam yang senyap itu.Lapangan sakral itu dibakar Albertus Wisnumurti. Ia tak bermaksud menghanguskannya tapi hanya ingin menyulut api di hati kita.


Kemudian tubuhku tak sanggup melawan lelah dan kelopak mata ini menolak membelalak. Akhirnya, kututup jendela browser dan kupadamkan laptop-ku. Dengan gontai aku masuk ke ruangan tidur, kurebahkan tubuhku dan kupejamkan mata.Tidur dalam kesendirian. Diam-diam, air mataku meleleh.

06.45
Ah! Kepalaku berat, benakku ngilu, mataku bengkak. Ya, sepertinya dalam tidur aku menangisi kepergian Wisnu. Mimpi yang kuharapkan tak terjadi. Jiwanya tak mampir dalam mimpiku.

Kemudian aku sarapan sereal dan susu, dengan syukur kunikmati makan pagiku. Mandi di bawah pancuran air panas yang terasa begitu dingin. Mengenakan kaus, celana denim, dan sneaker. Lalu berangkat ke kantor dengan xe ôm—bahasa Việt Nam untuk ojek.

Sesampainya di kantor, kunyalakan komputer. Dan kupandangi layar dan kuiikuti pemakaman sahabatku itu. Entah seperti apa cuaca di Jakarta, tapi kicauku....


Pagi ini matahari bersinar cerah di antara awan mendung. Memberi celah untuk mengantar Albertus Wisnumurti.

Setelah peti yang memuat Wisnu tak lagi terlihat tertimbun tanah, bunga, tetes air mata, dan doa, kukicaukan....

Albertus Wisnumurti telah kembali dalam abu dan debu. Yang tinggal hanya kenangan soal semangatnya yang terus berkobar dan menggebu.

Diam-diam, air mata mulai kembali menggenangi bola mataku. Mengaburkan pandanganku. Kutengadahkan kepalaku dan kutarik nafas dalam-dalam. Ah, sesak ini sedikit terobati walaupun tak sama sekali hilang.

Lalu kulihat arloji digitalku, 14.36. Lalu anganku melayang....

1996 - 2000
Empat tahun aku berkuliah bersama Wisnu. Aku tak tau banyak hal tentangnya. Hanya Gudang Garam, kopi Kapal Api, dan Bir Bintang. Juga kebisuannya dalam malam-malam senyap di Kota Kembang.

Ia tak banyak cakap tapi dalam bungkamnya, aku belajar banyak dari pria gondrong itu—ya, saat kuliah dia gondrong sepantat. Dari gerak-geriknya aku belajar untuk melakukan segala sesuatu dengan perlahan tapi pasti. Dari kepulan asap yang keluar dari hidung dan mulutnya aku belajar untuk berpikir sebelum bertindak. Dari cara dia menyeruput kopi aku belajar cara menikmati hidup. Dan bahkan dalam amuknya, aku belajar bahwa amuk itu bukan untuk membakar habis amarah jiwa tapi untuk menyemangati mengajak mengubah kebuntuan.

Pria dengan bibir di pantatnya itu—yes, you know what I'm talkin' about—berani berbuat apa-apa yang takut kita lakukan. Bukan karena salah tapi karena tak populer dipandangan masyarakat, di kalangan FSRD ITB sekalipun. Dialah contoh pemberontakan tanpa banyak kata-kata.

Dalam ingatan ini, hampir setiap kegiatan di kampus selalu ada kelebat si pria vintage itu. Bukan, dia bukan pria yang jadi pusat perhatian. Tapi dialah pilar yang meyangga. Bahu yang memanggul idola-idola kampus.

Sejarah tak akan mencatat temanku Albertus Wisnumurti. Tapi itu tak penting. Sebab ia telah menyalakan api di hati sahabat-sahabatnya. Dialah pengobar semangat.

Si Pengobar Semangat. Foto oleh Berti Alia Bahaduri.

Jumat | 2010.07.15 | 21.50
Duapuluh empat jam sudah lewat sejak kubaca berita wafatnya Wisnu, istriku kembali dari Càn Thơ. Akhirnya aku bisa menangis lega dalam sebuah pelukan. Melepas kepergian si pelopor. Dan, ah! Ada Mama Mia di HBO. Semua kenangan indah yang sunyi itu kini diisi lagu-lagu ABBA.

Kuucapkan dalam hati kepada Wisnu, "Nu, sudah kuluapkan isi hatiku ini. Kini aku akan berhenti menangis dan kembali meneruskan langkahku karena kau pun melangkah ke dunia itu. Selamat jalan! Bila sudah saatnya, aku 'kan menyusul."

N.B. Ada tweet-tweet yang sedikit direvisi demi mematuhi kaidah bahasa Indonesia.

Tuesday, July 13, 2010

Petualangan Tiga Dimensi

Tiga bulan berada di negeri Paman Hồ, keterampilan saya bertambah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Software-software yang saya kuasai tidak lagi hanya pengolah grafis dua dimensional tapi mulai belajar software-software grafis tiga dimensi semacam 3ds Max.

Dua gambar di bawah adalah hasil usaha saya selama dua minggu setelah trial and error, tutorial, dan bimbingan Anh Hoan. Sekali lagi, step-by-step tutorial yang biasa disediakan software terbukti memberi pengajaran dasar yang berguna untuk penguasaan software. Jadi, jangan malas-malas ngulik tutorial.





Membangun set tadi tidak begitu sulit karena saya sudah terbiasa untuk membuat benda-benda grafis dua dimensional. Yang sulit adalah pengolahan material dan tekstur. Lebih ribet dari dugaan saya sebelumnya. Ditambah lagi pe-ngulik-an lampu dan kamera serta animasi. Ehm, puyeng.

Apa pun kesulitan yang saya alami, toh memberikan pengertian lebih luas tentang dunia grafika tiga dimensional. Seperti kata Bear Grylls, "No pressure, no diamonds."

Saturday, July 10, 2010

The Hujaters 2010.07



Diagram klasifikasi para Penghujat di angkatan 1996 FSRD ITB.

Di kampus dulu, saya memiliki teman-teman yang suka saling menghujat dalam komik yang kami buat, Komik Hujat namanya. Kolaborasi kami mencapai 4 buku ukuran A4, entah berapa halaman tiap bukunya. Alat gambar yang sering kami pakai adalah spidol SNOWMAN, biar begitu, hasilnya tidak mengecewakan. Komik-komik itu dimulai sekitar tahun 1997 dan buku terakhir yang saya tahu dibuat tahun 2000. Setelah penyimpan komik-komik itu lulus, nasib komik-komik itu tak diketahui. Dua penggambar komik hujat masih meneruskan karyanya di KOMIKIR di wordpress.

n.b. Untuk teman-teman Hujaters, mohon data-data dalam infografis ini dilengkapi. Semakin banyak data yang saya miliki, makin mungkin untuk menciptakan infografis yang lebih kompleks. Kalau ada yang belum masuk mohon saya diberi tahu.

Thursday, July 1, 2010

Dari 1977 sampai 2010



Kesulitan terbesar dalam infografis adalah mendapatkan informasi dibutuhkan agar dapat meyampaikan sebuah cerita. Sisanya bisa dibuat oleh visualizer/desainer.

Nah, infografis di atas adalah sebuah eksperimen saya tentang cerita hidup saya selama 32 tahun. Masih sangat sederhana. Saya berencana untuk melengkapinya dengan gambar dan foto.

Kalau Anda tertarik, klik saja infografis di atas.

Monday, June 28, 2010

No Internet - Không Cò Internet

Seminggu ini internet di apartemen mati. Tak terkoneksi dengan dunia maya. Well, setidaknya saya bisa meneruskan Heroes of Might and Magic V yang sudah lama tak saya mainkan. It's still fun! Considering the gaming world nowadays are ruled by Massive Multi-player Online Role-playing Game (MMORPG).

Wednesday, June 9, 2010

Pilih Benar atau Indah?



Tanpa perlu berpikir panjang, saya langsung memilih 'benar'. Alasannya, di era ini, informasi yang akurat menjadi sebuah keharusan untuk secara tepat mencapai tujuan. Informasi akurat juga sebuah kemutlakan untuk mencapai sebuah optimalisasi tertentu.

Namun, tentu saja akan sangat menyenangkan apabila kita dapat menyampaikan informasi dengan tepat dan indah sekaligus.

Monday, May 24, 2010

Batu Ratapan, Poetic Complexity part II

Phiến Đá Sầu

Mai em xa rời tôi
Còn ai cùng đi giữa đời
Mênh mông đây là đâụ
Là biển vắng đêm sâụ

Khi em quay mặt đi
Lòng tôi tựa phiến đá sầu
Chơ vơ trong lạnh câm
Muộn phiền theo tháng năm

Em hỏi tôi, "Phiến đá có tình yêu không?"
Em hỏi tôi, "Phiến đá có linh hồn không?"
Linh hồn tôi nay là đá sỏi
Nhung đá nằm khổ đau với tình yêu em

Em hỏi tôi, "Đá biết thở dài xa xôi"
Em hỏi tôi, "Đá có ngậm ngùi chia phôi"
Em và tôi thiên đường mất rồi
Trên lối về mình tôi bước dài lê thê

Em vô tình làm sao, hồn tôi giờ đây úa nhầụ
Trong đêm thâu gọi tên, lòng càng vắng xa thêm.
Tôi hôm nay là aỉ Hồn như một phiến đá nằm
Trăm năm như ngàn năm. Người cùng đá băng khoăng.

Selesai bekerja, Para pria Việt Nam biasanya berkumpul di rumah makan favorit mereka. Makan sampai kenyang dan minum sampai tumbang. Dan di sela-sela makan dan minum, mereka bercerita ke sana kemari dan bernyanyi-nyanyi.

Bernyanyi merupakan hal mudah buat mereka. Setiap hari mereka bercakap-cakap dengan dengan nada dan irama. Mengutip Lonely Planet, mendengar percakapan mereka seperti mendengar sebuah lagu yang tidak kita mengerti.

Dalam catatan saya sebelumnya, saya menduga pemerintah tidak menganjurkan rakyatnya untuk menyerap bahasa asing, seperti pengalaman saya di Indonesia. Ternyata dugaan saya salah. Pemahaman yang saya dapatkan di kampung halaman tidak berlaku di sini.

Ternyata mereka lebih menyukai bahasa mereka sendiri. Menurut beberapa teman saya —salah satunya seorang Jerman yang telah menulis buku tentang literatur Việt Nam— bahasa asing terdengar buruk di telinga bangsa Việt Nam. Tak ada nada, tiada irama.

Setiap hari, teks-teks resmi di negeri ini ditulis dengan penuh pertimbangan. Kalau terdengar tak merdu, mereka akan membongkar seluruh kalimat. Dan bila perlu seluruh paragraf.

Soal keindahan bahasa, bangsa Indonesia bisa belajar dari negara ini.

Kembali ke urusan nyanyian, kurang dari sebulan lagi, audisi Vietnam Idol akan digelar di sini. Mungkin, di acara ini akan terbukti apakah pria-pria di sini sungguh bisa bernyanyi—sadar atau mabuk. Walaupun saya mungkin tak akan mengerti satu patah kata pun.

N.B. Lagu di atas, kalau ditransliterasikan menjadi karang atau tebing ratapan. Sebuah lagu tentang ditinggal pergi. Kemana? Saya belum tahu, karena saya masih belum berhasil mentransliterasikannya.

Sunday, May 16, 2010

Poetic Complexity

Ada sebuah pelajaran baru lagi yang saya dapatkan di Việt Nam. Kali ini soal kosa kata dan tata bahasa. Saya ambilkan contoh dari ungkapan ini:

Thần Tượng Âm Nhạc

Tranliterasinya adalah idola, atau idol dalam bahasa Inggris. Hmmm, empat kata dalam bahasa Viêt itu hanya menjadi satu kata dalam bahasa Indonesia.

Hal tadi mengingatkan saya pada saat Indonesia memaksakan diri untuk menterjemahkan istilah-istilah asing. Penterjemahan itu akhirnya melahirkan kebingungan-kebingungan tersendiri. Padahal, ada istilah-istilah tertentu yang, menurut pendapat saya, lebih baik diserap saja. Sehingga istilah yang diserap dapat lebih luwes digunakan dan lebih mudah dimengerti pula.

Alasan pemerintah Việt Nam tidak menyerap istilah asing masih belum saya ketahui. Mungkin lain kesempatan. Ya, mungkin lain kesempatan.

Hal lain yang menyebabkan istilah idola ditranliterasikan menjadi Thần Tượng Âm Nhạc adalah pertimbangan nada dan bunyi. Dalam bahasa Việt, sangat penting untuk mempertimbangkan dua hal tersebut. Mengapa? Karena nada dan bunyi dapat merubah arti sebuah kata dan bahasa Việt menganggap keharmonisan bunyi merupakan sebuah kepatutan. Ya, bahkan dalam percakapan sehari-hari, bahasa Việt terdengar seperti suatu musik tersendiri.

Petualangan ini, ternyata lebih indah daripada yang saya bayangan. Sebuah pengalaman yang tak ternilai.

Tuesday, April 27, 2010

Xin Chào Việt Nam




















Selamat pagi Hồ Chí Minh City,

Sejak bulan April 2010 saya pindah dari Majalah U—salah satu anak perusahaan P.T. Tempo Inti Media Tbk.— ke sebuah rumah produksi di Việt Nam. Sebuah langkah penting yang perlu saya ambil untuk diri saya sendiri. Betul, untuk diri saya sendiri.

1 | Di Belakang Layar
Sejak saya mengundurkan diri di awal bulan Maret 2010, banyak yang bertanya mengapa saya pindah. Satu alasan sudah saya sebutkan sebelumnya, alasan lainnya adalah belahan jiwa saya juga ditawari pekerjaan di perusahaan tempat saya sekarang bekerja. Sekali jaring sekeluarga terangkut. Ha ha ha.

Alasan yang kedua sudah tak perlu diperdebatkan, saya pusatkan saja cerita ini pada alasan pertama. Empat belas bulan sebelum saya mengundurkan diri, saya sudah berniat untuk mencari pengalaman baru dengan bekerja tidak di Indonesia.

Hmmm, jadi bukan karena alasan-alasan yang tidak menyenangkan? Bukan, bukan. Tentu saja bukan. Perusahaan lama saya tentu saja tidak sempurna, tapi saya tak ingin menggunakan itu sebagai sebagai alasan. Lagipula, di luar ketidaksempurnaannya, saya sangat, sangat, sangat menyukai tempat saya bekerja itu.











Bukan dadakan juga? Ya, enggak dong! Lagian, saya tidak suka grasak-grusuk.

Oh iya, empat belas bulan sebelumnya ya? Cukup lama juga.... Well, relatif nggak sih? Kalau tidak dirasakan, waktu pasti cepat berlalu. Sebenarnya, kalau empat belas bulan lalu tidak ada aral yang melintang, pasti saat itu saya sudah tidak di Indonesia.

Ya, saat itu sebenarnya saya sudah siap berangkat ke negeri tetangga. Sebagian juga sudah saya beri tahu, tapi karena belum resmi jadi saya tidak menyebarluaskannya. Sayang, saya tidak mendapatkan lampu hijau dari pemerintah negara tempat saya akan bekerja. Cita-cita saya pun belum kesampaian.

Lima bulan setelah saya batal ke negeri tetangga, saya di pindahkan ke Majalah U. Tempat yang sungguh-sungguh menarik karena saya belajar banyak hal baru dan juga mendapat teman baru. Lebih jauh lagi, tempat itu pula yang membuka mata saya pada perspektif yang lebih luas dan meyakinkan saya untuk mencari pengalaman baru dengan tidak di Indonesia. Kalau pindah ke anak perusahaan saja membuka perspektif baru yang begitu luas, saya yakin, pindah ke negara baru pasti lebih dahsyat lagi.

Sembari menimba pengalaman di Majalah U, saya terus mencari-cari kesempatan untuk menggapai cita-cita saya. Dan seperti orang pada umumnya, internetlah yang jadi gerbangnya. Namun, beberapa bulan di majalah itu, saya belum mendapatkan tawarnan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian saya lalu pekerjaan mulai menimbuni saya.

Lalu kesempatan itu datang begitu saja. Better than the plan I had. Saya dan istri bisa pindah sekaligus ke negeri tetangganya tetangga; Việt Nam. Memang kondisi negara itu tak sesuai dengan keinginan awal saya, namun masih sejalan dengan cita-cita saya. Tapi saya yakin, ini pasti tawaran Yang Maha Kuasa. Tak perlu pertimbangan lagi, saya ambil!

Dalam satu bulan sebelum kepindahan, kami segera menyelesaikan hal-hal yang harus diselesaikan. Wah, hampir pecah kepala. Syukur, semuanya lancar.

2 | Di Atas Geladak
Culture clash. Seperti yang diduga sebelumnya, penyesuaian bahasa dan budaya menjadi kendala paling sulit yang akan dihadapi di kantor baru ini.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Hmmm, ya seperti yang biasa saya lakukan saat menghadapi hal baru. Belajar. Belajar. Dan Belajar.

Saya lebih mudah belajar dari teks. Jadi hal pertama yang saya lakukan adalah belajar membaca dan menulis dilanjutkan dengan mengucapkannya. Untungnya, bahasa Việt Nam ditulis dalam huruf latin yang sedikit dimodifikasi dengan tanda-tanda baca. Mirip dengan cara bangsa semitik memberikan tanda baca pada huruf gundul. Bisa di cek di mbah Gugel atau Jeng Wiki.

Setelah mengerti cara membacanya, cara pengucapannya lebih menarik lagi. Kalau banyak bahasa yang umum kita kenal membuat lidah kita terbelit, pengucapan tiếng Việt membuat hidung kita tersumbat. Selain pengucapannya harus tepat, nada yang dilantunkan juga harus tepat. Nah, itulah gunanya tanda-tanda baca tadi.

Bagaimana dengan budaya kerja? Ini dia yang menarik. Mereka punya tidur siang! Tapi kalau sedang bekerja sih giat. Setidaknya rekan-rekan satu bagian saya. Tapi saya pikir, selalu saja ada orang yang rajin dan orang yang malas. Jadi saya enggak mau menggeneralisir sifat orang-orang Việt Nam. Orang Indonesia juga ada yang malas dan ada yang rajin kan?

Nah, yang relatif sulit adalah mengarahkan rekan-rekan kerja. Di negeri sendiri saja sulit mengarahkan rekan senegara, apalagi di Việt Nam yang budayanya sedikit berbeda. Untungnya bahasa visual selalu lebih mudah dimengerti, hanya perlu sedikit disesuaikan dengan nilai-nilai lokal.

Saya perlu berterima kasih pada teman saya yang adalah penulis cerita di Komikir. Ia mengingatkan saya untuk membuat timeline supaya rekan-rekan kerja saya mengetahui kapan pekerjaan mereka harus selesai dan sekaligus memberikan gambaran beban kerja mereka. Phew, that's really useful.










Hasilnya bagaimana? Sama sekali belum memuaskan. Ada beberapa penyebab. Pertama, jelas-jelas saya masih disorientasi. Sebulan pertama ini saja terjengkang dan terjungkal melihat cara kerja mereka yang sama sekali nggak saya mengerti. Namun, saya menahan diri supaya sifat sotoy saya tak keluar.

Kedua, masih belum ada tata kerja yang baku. Dan saya nggak ingin memaksakan tata cara kerja selama ini saya ketahui, walaupun hal itulah yang paling mudah untuk saya. Lagi pula, saya ingin rekan-rekan saya mandiri.

Ketiga, karena tak mulusnya koordinasi dengan bagian lain, pekerjaan datang bertubi-tubi dan menumpuk karena tak cukup sumber daya dan waktu. Untungnya, sudah ada rapat bulanan untuk koordinasi.

Klasik ya? Betul.

Ada sisi menariknya enggak sih? Oh, ada dong! Huruf-huruf dengan tanda-tanda bacanya. Dengan tanda-tanda baca itu, terbuka kesempatan untuk permainan tipografi yang menarik. Saya selalu senang tipografi, jadi melihat huruf-huruf khas Việt membuat semangat saya membara.










Selain persoalan komunikasi visual, saya juga senang sejarah. Oleh karena itu, saya tertarik belajar sejarahViệt Nam, mulai dari akar kebudayaan mereka sampai binatang-binatang mistis. Mulai dari budaya makan sampai jenis-jenis tumbuhan yang mewakili kebudayaan Việt Nam.

Yang membuat saya cengar-cengir adalah tiga jenis naga yang mewakili tiga pendiri dinasti besar di Việt Nam. Semuanya sama! Yang membedakan adalah mukanya. How the hell should I know? Har har har.

3 | Di Depan Haluan
Ada beberapa hal yang sudah terlihat. Yang paling utama adalah memperbaiki sistem kerja, sebelum semuanya menjadi krisis. Dalam hal ini 7 Habits of Highly Effective People semakin terasa kegunaanya.

Dan saya merasa perlu melongok ke belakang dan meminta nasehat dari orang-orang yang menjadi panutan saya. Selain itu, saya juga perlu ngobrol dengan teman-teman yang sudah lama berkecimpung dalam production house.

4 | Di Balik Cakrawala
Belum terlihat apa-apa, tapi saya yakin ada sesuatu yang menarik.

Friday, March 5, 2010

Sampan Naik Galangan



Logo Majalah U sebelum 2010 dan logo Majalah U sejak 2010.

Rapat itu menentukan. Yap, jangan meremehkan rapat. Mulai dari rapat pengembangan bisnis sampai akhirnya evaluasi produk. Boring as it seems, rapat adalah pekerjaan paling menguras pikiran dan tenaga, tapi penting. Penting.

Banyak desainer enggan mengikuti rapat ini-itu. Tapi sesungguhnya, berbagai desain enggak bakal tepat sasaran kalau desainer tidak rajin ikut berbagai rapat. Selain itu, kalau desainer tak ikut rapat, sudah jelas bakal kehilangan kesempatan mengembangkan wawasan.

Selain itu, rapat juga menentukan koridor kita dalam mendesain. Rambu-rambu dibangun dari brainstorming dan perdebatan yang bertele-tele. Struktur desain dibangun dari pertengkaran dan tarik ulur pendapat.

Sekali lagi, jangan meremehkan rapat.

Beberapa bulan yang sebelum Januari 2010, manajemen ingin memperbaiki positioning Majalah U, dengan memperbaiki dan atau merombak isi maupun desain. Alasannya, secara bisnis, Majalah U tak memiliki performa yang baik sebagai salah satu produk Tempo Inti Media Tbk.

Kemudian, manajemen membuat Forum Discussion Group untuk mencari tahu pendapat pembaca soal Majalah U dan meminta saran mereka untuk perbaikan majalah ini. Selain kedua hal tadi, manajemen menyisipkan pertanyaan pada FGD, yaitu bila U diubah menjadi majalah pria.

Ketika hasil FGD dipresentasikan, ada hasil yang terduga dan tak terduga. Hasil FGD itulah yang Majalah U gunakan sebagai rambu-rambu dalam meredesain. Salah satunya, pembaca ingin pesan disampaikan dengan sederhana dan mudah dimengerti. Enggak perlu berumit-rumit, straightforward aja. Untuk majalah gaya hidup seperti U, tak perlu seperti saudara tuanya.

Setelah beberapa bulan bongkar pasang, maju mundur, naik turun, akhirnya Majalah U mengambil bentuk baru dan terbit bulan Januari 2010.

”Saya pikirkan sebuah jas yang bukan jas beli jadi tapi tailor-made. Halaman demi halaman perlu digarap habis-habisan tapi pas. Ya, pas seriusnya, pas juga gagahnya, pas juga genitnya.”

Hmmm, kutipan yang saya ucapkan di atas membuat saya terpaksa menuai badai—but what the hell, I'm a storm chaser anyway. Akibat dari ucapan itu, U harus dikerjakan dengan serius halaman perhalamannya. Banyak hal yang memuaskan dan banyak pula yang perlu diperbaiki dalam edisi pertama itu.

Dua bulan berikutnya, desain U terus diperbaiki dengan evaluasi tiap bulan dan menterjemahkan kritik pembaca, penyumbang, dan pengamat isi U. Hasilnya majalah ini mengalami perbaikan tiap edisinya.



Sampul muka Majalah U edisi April 2010.

Empat bulan menggarap U, saya paling suka sampul muka Dwi Putrantiwi di atas. Sampul muka terakhir yang saya kerjakan untuk U. Terakhir? Ya, karena setelah edisi ini saya pindah ke Việt Nam.

Kenapa Việt Nam? Well, that's another story. And my friend Miund said that I should write a blog about it. Sounds like fun. But I'll write my experience in Việt Nam in another blog.

Sampai jumpa!

Sunday, February 21, 2010

Sampan Kecil Super Sibuk

Bekerja dalam lingkungan baru bukan pekara mudah. Perlu tenaga ekstra untuk penyesuaian sekaligus melanjutkan pekerjaan yang sudah berjalan. Dari Majalah Berita Mingguan Tempo, saya ditempatkan di majalah gaya hidup U. Dari desainer menjadi Redaktur Desain.



Pemotretan pertama ketika di U.

Penyesuaian pertama yang seru, redaktur desain ikut sesi pemotretan. Bukan sekadar mengarahkan, tapi ikut mencari perlengkapan, mengatur lampu, menyediakan minum, memeriksa kostum, dan lain sebagainya. Tidak terbayangkan sebelumnya untuk menjadi redaktur desain sapu jagat. Kapten sekaligus juru mudi sekaligus kelasi sekaligus sekaligus gus!

Penyesuaian kedua, karena bagian Desain hanya terdiri dari satu personil, maka redaktur desain pun turun tangan sampai ke pra cetak. Di Tempo, saya biasanya hanya mendesain tanpa memperhatikan foto dan ilustrasi. Di Tempo, ada bagian pra cetak yang ditugaskan untuk memeriksa apakah file foto dan ilustrasi sudah layak cetak. Kalau sebuah foto dan ilustrasi sudah sesuai resolusinya, sudah diolah warnanya, dan diperbaiki kualitasnya sehingga cocok dengan mesin cetak di Temprint—sebuah anak perusahaan dari Tempo Inti Media Tbk. juga—barulah file-file tersebut dinyatakan layak cetak.

Tugas lain dari pra cetak adalah memeriksa apakah file-file foto dan ilustrasi yang di-link dengan file InDesign sudah lengkap dan sesuai. Ketika selesai di-link, pra cetak di majalah U juga harus memeriksa file Adobe Acrobat yang diekspor dari InDesign. Kadang kala, file pdf—nama ekstensi file Acrobat—tak sesuai dengan file InDesign sehingga link-file-nya perlu diesesuaikan.

Penyesuaian ketiga, saya harus mengirimkan file-file yang sudah lengkap ke percetakan melalui file transfer protocol, biasa disingkat ftp. Vel demi vel. Nunggunya itu lho!

Terakhir, saya juga harus mengubah file-file pdf tersebut, dan diekspor menjadi file-file yang akan dipergunakan di jagat maya. Yep, kalau masih aktif bisa di akses di: http://u-mag.tempointeraktif.com/

Jadi si Kapten kelabakan. Baru saja penyesuaian selesai, tugas berikutnya menunggu: Redesain Majalah U. Bagaimana ceritanya? Tunggu tulisan berikutnya.

Wednesday, January 27, 2010

Nakhoda Sebuah Sampan



Juni 2009, saya dipindahkan dari 'kapal induk' Majalah Berita Mingguan Tempo ke 'sampan' U Magazine. Pemindahan pegawai adalah hal yang lumrah dalam manajemen, biasanya dilakukan bila seorang pegawai dimagangkan pada posisi yang lebih tinggi. Ya, dari Perancang Grafis Senior, saya dimagangkan menjadi Redaktur Desain di U.

Penyegaran! Pikiran itulah yang pertama kali muncul di kepala saya. Alasannya, U adalah majalah yang sama sekali lain dengan Tempo. Alasan lainnya adalah, saya bosan begadang dan ingin mencicipi kehidupan normal —apapun normal itu sesungguhnya. Tapi yang paling utama adalah saya bisa jadi nakhoda sebuah sampan.

U adalah sebuah majalah yang awalnya adalah sebuah produk kerja sama dengan sebuah bank. Untuk sebuah alasan, akhirnya U melepaskan ikatan kerjasama dengan bank tadi dan berdiri menjadi majalah yang seluruhnya dikelola oleh Kelompok Tempo Media.

Saya akui, sesungguhnya saya kurang perhatian pada si 'saudara muda'. Perhatian saya tersedot oleh berbagai urusan di Tempo. Akibatnya, saat pertama kali berlabuh di U saya membongkarnya demi mengetahui jeroannya. Desainnya sama sekali lain dari desain majalah berita mingguan paling laku di Indonesia. Pusing bukan kepalang.

I tried to keep an open mind. Kebijakan soal penulisan, foto, dan desain benar-benar memaksa saya melepaskan seragam kelasi dari perahu lama. Bukan karena saya tak suka seragam itu, tapi karena seragam itu tak sesuai dengan kondisi sampan baru ini.

Seperti sampan, awaknya juga sedikit ndayungnya banyak. Sendirian U artinya pekerjaan menumpuk sekali. Overwhelming! Benar-benar butuh displin dan willpower.

Tantangan berikutnya, U didesain dengan menggunakan InDesign CS3 dalam Wintel. Sementara saya terbiasa me-layout Tempo dengan menggunakan CS dalam Mac OS X. Segala macam shortcut dan jurus-jurus Mac terpaksa disesuaikan. Sejujurnya, kalau Anda benar-benar menyukai komputer, tidak ada masalah sekali, hanya ada penyesuaian. Apalagi kalau Windows-nya asli.

Demi mempermudah pengerjaan dalam InDesign CS3, yang saya lakukan pertama adalah menyesuaikan character style, paragraph style, dan swatches dengan cara saya bekerja. Nggak penting tapi penting adalah men-save workspace. Sisanya, ya seperti me-layout biasa. Persis seperti yang saya lakukan pada template Tempo 2008.

Selanjutnya, mendesain seperti biasa. Tapi jangan dikira sampan berjalan dengan mulus. Cerita tentang nakhoda sampan akan berlanjut di post berikutnya. Post yang bercerita tentang bagaimana Redaktur Desain tak hanya mendesain.