Thursday, October 16, 2014

Video Pemotretan Jokowi di Klender


Video pemotretan presiden terpilih Joko Widodo. Selamat menikmati. Untuk yang ingin menikmati behind the scene pemotretan presiden terpilih Joko Widodo dalam bentuk foto dan teks, silakan klik post ini.

Pemotretan Jokowi di Klender

Sabtu, 11 Oktober 2014
Di sebuah tempat jual beli kayu gelondongan di Klender, saya dan pemimpin proyek edisi inaugurasi Ratih Purnama Ningsih celingukan melihat tempat-tempat yang akan dijadikan lokasi pemotretan presiden terpilih Joko Widodo untuk majalah Tempo yang akan diterbitkan tanggal 20 Oktober 2014, bersamaan dengan dilantiknya Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014 - 2015.

Salah satu tempat jual beli kayu gelondongan di Klender.

Kami setidaknya harus menentukan tiga tempat pemotretan. Tempat sang presiden terpilih menyerut kayu, memilih sebuah balok kayu, dan bersepeda pergi dari tempat ini. Beruntung lokasinya menunjang.



Minggu, 12 Oktober 2014
Kembali ke Klender. Kali ini saya bertiga, bersama Ratih dan Ijar Karim. Kami kembali ke lokasi yang berada di dekat pertigaan Pahlawan Revolusi dan Cipinang Muara III. Sesampainya di sana, tim dari pihak Jokowi—panggilan Joko Widodo—sudah menunggu.

Sesampainya di sana, saya dan Ratih menunjukkan kepada Ijar tempat-tempat yang sudah kami tentukan sebelumya. Tanpa berlama-lama Ijar segera menge-set tempat dengan menentukan posisi kamera dan lampu-lampu kilat.

Lampu-lampu kilat yang akan kami pegangi selama pemotretan.
Kami tak punya banyak waktu persiapan. Sebelum persiapan selesai, seorang anggota Paspampres menjawil saya, "Bapak sudah mau berangkat. Dua puluh menit lagi sampai."

Ijar Karim sudah terbiasa bekerja dalam waktu sempit. Sehingga pemberitahuan anggota Paspampres tadi tak begitu dihiraukannya. Ia tetap berkonsentrasi mempersiapkan lokasi pemotretan. Sang fotografer meminta saya dan Arif Zulkifli, pemimpin redaksi Tempo, untuk menjadi model sebelum presiden tiba nanti.

Pemred jadi model dadakan.
Karena tempatnya yang cenderung sulit dipersiapkan, Ijar meminta Ratih dan saya untuk memegangi tiga buah lampu kilat supaya mudah diarahkan dengan voice control, alias digerakan dengan perintah mulut. Lagi-lagi cara begini bukan yang pertama kami lakukan.

Lampu kilat dipegangi oleh Ratih.
Begitupula dengan rail. Tak ada waktu dan tempat yang cukup untuk mempersiapkan rel sehingga akhirnya Ijar kembali memerintahkan Ratih dan saya untuk memegangi flash, kali ini sambil berjalan mengikuti presiden terpilih Joko Widodo mengendarai sepeda.

Lampu flash berjalan.
Singkat cerita, inilah cover majalah Tempo yang akan terbit tanggal 20 Oktober 2014.

Selamat menikmati. Untuk yang ingin menikmati behind the scene pemotretan presiden terpilih Joko Widodo dalam bentuk video, silakan klik post ini.

Wednesday, September 24, 2014

Priyanto Sunarto

Priyanto Sunarto. Foto milik DKV FSRD ITB

UELOGI

Priyanto Sunarto
10 Mei 1947 - 17 September 2014

Empat semester saya berkuliah di FSRD, saya sering mendengar nama Priyanto Sunarto berdengung dalam perbincangan sehari-hari di antara para mahasiswa tingkat tiga dan empat. Nama beliau sering mencuat dalam diskusi sehari-hari para dosen. Nama beliau diucapkan seolah-olah nama yang bukan berasal dari muka bumi. Ethereal.

Sebelum tahun 1998, saya tak mengenal Pak Pri—begitu saya memanggilnya. Dalam dua tahun berkuliah, saya hanya beberapa kali saya berpapasan dengan beliau di dalam program studi Desain Komunikasi Visual yang terletak di lantai dua Fakultas Seni Rupa dan Desain, fakultas yang letaknya di bagian depan Institut Teknologi Bandung.

Baru di kelas Ilustrasi III saya bertatap muka dengan beliau di dalam ruangan. Tahun ketiga di kampus inilah baru saya benar-benar melihat pak Pri dengan jelas dalam waktu yang cukup lama.

Beliau tampak biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Perawakannya kira-kira setinggi saya. Pandangannya berkabut seolah-olah menyembunyikan sesuatu. Senyumnya tipis, antara iya dan tidak. Bicaranya tak jelas dengan suaranya yang dalam. Tipe laki-laki yang takkan saya hiraukan bila melintas di keramaian.

Berbanding terbalik dengan reputasinya yang sudah mencapai 'legenda hidup'.

Namun saat itu, dalam waktu kurang dari dua jam saya mulai bisa lihat bentuk asli sang legenda. Pak Pri menunjukkan tajinya, menunjukkan siapa beliau sesungguhnya, membagi ilmunya tanpa takut kehilangan, menyediakan waktunya yang takkan mungkin kembali.

Dalam semester itu dan semester berikutnya, beliau membeberkan koleksi pribadinya dalam proses belajar-mengajar. Koleksinya tak hanya koleksi dua-tiga tahun terakhir tapi koleksi sejak dia mulai mengoleksi, yaitu koleksi masa kanak-kanaknya, masa sekolahnya, masa kuliahnya, masa kerjanya, hingga masa itu. Beliau juga memampangkan karya-karyanya kuliahnya hingga karya-karya beliau yang terbaru, kumpulan karya yang dikumpulkan selama hampir tiga dekade!

Proses yang saya anggap hanya proses belajar-mengajar antara mahasiswa dengan dosennya pelan-pelan berubah menjadi proses master and apprentice, seperti padawan yang berguru pada jedi.

Pak Pri melakukan segalanya dalam proses itu, kecuali satu hal. Menurut saya hal yang tak dilakukan beliau itu merupakan hal yang paling mendasar dari cara beliau mengajar; sang dosen tak pernah mau memberitahu jalan mana yang harus diambil para mahasiswanya.

Dia memaksa kami untuk menentukan jalan kami masing-masing. Menjerumuskan kami untuk memutuskan sesuatu yang kami tak pernah tahu benar atau salah. Mendorong kami untuk berani berbuat daripada diam terbingung-bingung. Ajaibnya, pak Pri tak pernah melakukannya dengan gaya dosen killer, tapi beliau selalu mencabuk kami dengan senyum cengengesan.

Terkesan dengan cara beliau mengajar, saya bertekad untuk 'memaksa' beliau menjadi dosen pembimbing saya untuk tugas akhir nanti. Caranya, ketika semester ketujuh hampir selesai, saya sudah 'menyalip' penentuan dosen-dosen pembimbing tugas akhir dengan menyodorkan beliau contoh calon tugas pamungkas saya. Contoh kasar dari sebuah tugas yang belum pernah dilakukan oleh rekan-rekan mahasiswa sebelum saya, setidaknya sepanjang pengetahuan saya.

Cus. Tugas akhir komik stereogram.

Saya menyorongkan stereografi dalam bentuk komik sebagai tugas akhir kepada pak Pri. Saat itu beliau berkomentar dengan wajah datar, "Ah, kan masih semester nanti...." Dalam hati saya berkata, "Biarlah, yang penting nekat dulu." Walau tampaknya gagal tapi dua bulan kemudian tekad saya terkabul. Entah karena usaha saya 'menyalip' atau memang hasil diskusi para dosen. Either way, it was all good for me. Jadilah beliau dosen pembimbing saya untuk tugas akhir.

Kata stereografi mungkin terdengar aneh, tapi teknik ini adalah bentuk dasar dari film-film 3D yang kini mulai lazim ditayangkan di bioskop-bioskop. Untuk mencari penjelasan ilmiah mengenai stereografi saya harus menyeberangkan ke jurusan Fisika Teknik. Nah, sebagai landasan teknis, saya menggunakan karya Budi Widagdo yang berjudul 'Perangkat Optik Merekam Gambar Stereo dengan Penyajian Warna'.

Selama bimbingan, pak Pri selalu iya-iya saja. Hanya sesekali bertanya kelengkapan makalah dan hal-hal yang akan dipresentasikan. Khas pak Pri. Namun tiba-tiba di suatu sore beliau menyatakan sesuatu yang mengejutkan, "Nanti ketika presentasi, kamu harus jadi orang yang paling pinter di ruangan." Saya diam saja mendengarnya. Sebab kalau saya bertanya balik, beliau pasti menjawab, "Kamu cari caramu sendiri."

Long story short, saya akhirnya lulus dengan nilai yang saya harapkan.

Selesai berkuliah di FSRD ITB, saya kemudian bekerja di majalah berita mingguan Tempo selama 10 tahun. Ketika di bergabung di Tempo, saya terkejut karena ternyata pak Pri telah berpartisipasi sebagai ilustrator sejak tahun 1977. Dan beliau telah menjadi icon majalah Tempo sebagai kartunis yang tak tergantikan.

Setiap Rabu, pak Pri selalu menghadiri rapat Opini, rapat yang menentukan sikap Tempo setiap edisi. Bahkan di saat-saat terakhir beliau. Kartunis Tempo itu hampir pasti pulang pergi naik kereta api dari Bandung ke Jakarta. Mungkin, itu semacam ritual.

Dua tiga bulan sebelum kepergian beliau, pak Pri masih ngotot datang rapat Opini di Tempo. Beliau sudah ditopang oleh tongkat dan langkahnya sudah tertatih-tatih. Beberapa kali datang di atas kursi roda. Tubuhnya tak seperti dulu lagi, layu.

Tapi ada yang tak berubah. Pak Pri tetap cengangas cengenges bercanda-tawa dengan awak redaksi Tempo dalam rapat dan sesekali berubah serius ketika ada hal yang menarik dan serius dalam rapat Opini. Matanya yang berkabut itu menyala-nyala. Barangkali beliau merasa 'hidup' di rapat itu. Setidaknya itu yang dirasakan istrinya, bu Euis.

Kebetulan yang menarik bahwa pak Priyanto Sunarto wafat di hari Rabu. Membuat saya selalu mengenang pak Pri setiap rapat Opini dilaksanakan.

Sampai jumpa pak Pri, di kehidupan berikutnya.

Thursday, August 28, 2014

Matair


Video ini hanya dibuat bermodalkan smartphone. Perjalanan ke gunung Rinjani selama empat hari tiga malam menggunakan iPhone 4 yang sudah 3 tahun saya pergunakan bersama Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam ITB.

Karena dibuat serabutan tanpa rencana, akibatnya banyak kekurangan. Shot-shot yang cenderung membosankan, tidak ada footage tentang wawancara, tidak ada peta, tidak ada grafis....

Berikutnya akan lebih baik.

Monday, April 28, 2014

Untukmu Indonesiaku oleh TV Tempo








Update kali ini soal pekerjaan terbaru saya, yaitu sebuah program bernama Untukmu Indonesiaku. Program talkshow ini akan menayangkan para kepala daerah yang mempromosikan daerah mereka. Nantikan di TV Tempo. Untuk sementara, link-nya saya sembunyikan dulu.

Detailnya menyusul, menunggu program ini selesai dan siap ditayangkan.

Saturday, January 25, 2014

Stagnasi 2013

Berbulan-bulan ini masih tak sempat juga meng-update blog ini. Ada berbagai alasan. Tapi untuk sementara, bolehlah membaca blog lain yang baru saya mulai di sini....