Monday, May 24, 2010

Batu Ratapan, Poetic Complexity part II

Phiến Đá Sầu

Mai em xa rời tôi
Còn ai cùng đi giữa đời
Mênh mông đây là đâụ
Là biển vắng đêm sâụ

Khi em quay mặt đi
Lòng tôi tựa phiến đá sầu
Chơ vơ trong lạnh câm
Muộn phiền theo tháng năm

Em hỏi tôi, "Phiến đá có tình yêu không?"
Em hỏi tôi, "Phiến đá có linh hồn không?"
Linh hồn tôi nay là đá sỏi
Nhung đá nằm khổ đau với tình yêu em

Em hỏi tôi, "Đá biết thở dài xa xôi"
Em hỏi tôi, "Đá có ngậm ngùi chia phôi"
Em và tôi thiên đường mất rồi
Trên lối về mình tôi bước dài lê thê

Em vô tình làm sao, hồn tôi giờ đây úa nhầụ
Trong đêm thâu gọi tên, lòng càng vắng xa thêm.
Tôi hôm nay là aỉ Hồn như một phiến đá nằm
Trăm năm như ngàn năm. Người cùng đá băng khoăng.

Selesai bekerja, Para pria Việt Nam biasanya berkumpul di rumah makan favorit mereka. Makan sampai kenyang dan minum sampai tumbang. Dan di sela-sela makan dan minum, mereka bercerita ke sana kemari dan bernyanyi-nyanyi.

Bernyanyi merupakan hal mudah buat mereka. Setiap hari mereka bercakap-cakap dengan dengan nada dan irama. Mengutip Lonely Planet, mendengar percakapan mereka seperti mendengar sebuah lagu yang tidak kita mengerti.

Dalam catatan saya sebelumnya, saya menduga pemerintah tidak menganjurkan rakyatnya untuk menyerap bahasa asing, seperti pengalaman saya di Indonesia. Ternyata dugaan saya salah. Pemahaman yang saya dapatkan di kampung halaman tidak berlaku di sini.

Ternyata mereka lebih menyukai bahasa mereka sendiri. Menurut beberapa teman saya —salah satunya seorang Jerman yang telah menulis buku tentang literatur Việt Nam— bahasa asing terdengar buruk di telinga bangsa Việt Nam. Tak ada nada, tiada irama.

Setiap hari, teks-teks resmi di negeri ini ditulis dengan penuh pertimbangan. Kalau terdengar tak merdu, mereka akan membongkar seluruh kalimat. Dan bila perlu seluruh paragraf.

Soal keindahan bahasa, bangsa Indonesia bisa belajar dari negara ini.

Kembali ke urusan nyanyian, kurang dari sebulan lagi, audisi Vietnam Idol akan digelar di sini. Mungkin, di acara ini akan terbukti apakah pria-pria di sini sungguh bisa bernyanyi—sadar atau mabuk. Walaupun saya mungkin tak akan mengerti satu patah kata pun.

N.B. Lagu di atas, kalau ditransliterasikan menjadi karang atau tebing ratapan. Sebuah lagu tentang ditinggal pergi. Kemana? Saya belum tahu, karena saya masih belum berhasil mentransliterasikannya.

Sunday, May 16, 2010

Poetic Complexity

Ada sebuah pelajaran baru lagi yang saya dapatkan di Việt Nam. Kali ini soal kosa kata dan tata bahasa. Saya ambilkan contoh dari ungkapan ini:

Thần Tượng Âm Nhạc

Tranliterasinya adalah idola, atau idol dalam bahasa Inggris. Hmmm, empat kata dalam bahasa Viêt itu hanya menjadi satu kata dalam bahasa Indonesia.

Hal tadi mengingatkan saya pada saat Indonesia memaksakan diri untuk menterjemahkan istilah-istilah asing. Penterjemahan itu akhirnya melahirkan kebingungan-kebingungan tersendiri. Padahal, ada istilah-istilah tertentu yang, menurut pendapat saya, lebih baik diserap saja. Sehingga istilah yang diserap dapat lebih luwes digunakan dan lebih mudah dimengerti pula.

Alasan pemerintah Việt Nam tidak menyerap istilah asing masih belum saya ketahui. Mungkin lain kesempatan. Ya, mungkin lain kesempatan.

Hal lain yang menyebabkan istilah idola ditranliterasikan menjadi Thần Tượng Âm Nhạc adalah pertimbangan nada dan bunyi. Dalam bahasa Việt, sangat penting untuk mempertimbangkan dua hal tersebut. Mengapa? Karena nada dan bunyi dapat merubah arti sebuah kata dan bahasa Việt menganggap keharmonisan bunyi merupakan sebuah kepatutan. Ya, bahkan dalam percakapan sehari-hari, bahasa Việt terdengar seperti suatu musik tersendiri.

Petualangan ini, ternyata lebih indah daripada yang saya bayangan. Sebuah pengalaman yang tak ternilai.