Sunday, December 23, 2012

Cedric Amadeo Wattimena Sitompul

Si Kecil. Lahir 2 minggu lebih awal.

17 Mei 2012 adalah hari bahagia untuk saya dan istri, kami kedatangan tamu yang sudah lama kami tunggu. Dialah anak kami Cedric Amadeo Wattimena Sitompul.

Semenjak dia lahir, waktu yang luang yang biasanya saya miliki saya pergunakan untuk bersenang-senang dengan dia. Mumpung masih bisa digendong, ditimang-timang. Sebelum kemudian tak memungkinkan lagi.

Satu-satunya benda grafis yang bisa saya hasilkan adalah poster di bawah. Mengandung informasi semenjak dia 6 minggu hingga hari lahirnya. Sederhana saja.


Sunday, September 9, 2012

Di Antara Dua Menara

Bzzzt! Membasmi nyamuk sebelum tidur menjelang sahur.

Tak apa sudah lewat hampir sebulan, toh masih banyak yang masih dalam suasana liburan dan warung-warung belum juga buka. Saya ucapkan selamat Idul Fitri 1433H bagi yang merayakan. Semoga Tuhan menerima ibadah kita selama bulan Ramadhan.

Tahun ini saya kembali merayakan Idul Fitri di Jakarta setelah dua tahun belakangan merayakannya di Việt Nam. Ada kebahagiaan sendiri kembali di antara anggota keluarga besar dan teman-teman dekat. Apalagi setelah Cedric, anak pertama di keluarga kecil saya, bergabung dengan keluarga kami tahun ini.

Selain Hari Kemenangan, di bulan Ramadan kali ini saya juga mengalami sesuatu untuk pertama kalinya sejak pertama kali saya berpuasa; bolong sehari. Kali itu saya yang kuasa menahan amukan asam lambung yang membuat saya mengeluarkan isi perut dan keringat dingin membahasai sekujur tubuh.

Rasanya aneh, perasaan tak lengkap. Tapi tak soal, saya menambalnya di hari kedua Syawal.

Dua tahun tak di Ibukota membuat saya merasakan hal-hal yang sebelumnya tak saya hiraukan. Panas dan lembab. Jorok dan tercemar. Penuh dan tersendat-sendat.

Berbagai urusan tak bisa selesai dalam hitungan beberapa jam karena tejebak di kemacetan lalu lintas. Kesemrawutan ada di mana-mana. Ternyata negaraku belum semaju pikiran yang tertanam di benak.

Dua Menara. Nostalgia di Masjid Istiqlal.

Saya juga mendapati kesulitan untuk mendapatkan objek yang menarik untuk di foto. Mungkin karena saya sudah terlalu biasa di kota ini. Sulit sekali mendapatkan objek yang bisa 'asal dijepret' lalu hasilnya menarik, apalagi bagus. Akhirnya saya memutuskan untuk Jumatan di masjid Istiqlal yang jaraknya kira-kira limabelas menit jalan kaki dari rumah keluarga saya di daerah Gunung Sahari. Di bawah terik matahari, di dalam polusi udara.

Barulah dengan usaha lebih saya bisa melihat objek-objek yang menarik untuk difoto. Apa ini artinya segala sesuatu harus didapat dengan berjibaku di Jakarta?

Mungkin.

Saturday, July 28, 2012

Hartati Murdaya dan Kelapa Sawit

Hartati Murdaya. Tersangkut kelapa sawit.

Sudah lama saya tak membuat ilustrasi untuk majalah tempat saya bekerja. Maklum, kini saya mulai banyak mengurusi hal-hal manajerial sehingga kesempatan untuk berkarya dengan serius semakin jarang.

Nah, dalam kesempatan minggu lalu, saya sempat menyelipkan sebuah ilustrasi olah foto. Ilustrasi itu saya buat bermodalkan foto wajah Hartati Murdaya dan perkebunan kelapa sawit. Niatnya hanya memberikan pilihan untuk sampul muka, eh, ternyata layak dan akhirnya tampil sebagai cover majalah Tempo English.

Tak lupa saya cantumkan para fotografernya, Dhemas Reviyanto dan Ayu Ambong.

Dalam Layout. Setalah dilengkapi elemen-elemen lain.

Saturday, July 14, 2012

Batman Tercabik

Kelelawar mati. Dengan drawing pen dan water brush.

Sembari menunggui anak di tengah malam, saya mengisi waktu dengan orat-orat di tempat biasa. Dengan menggambarkan apa saja yang lewat dalam pikiran ternyata bisa menghasilkan coretan seperti di atas. Tentu saja saya kaget sendiri karena biasanya saya enggak doyan ngegambar yang begini-begini. Atau ini dipengaruhi menggambar malam-malam? Entah....

Gambar ini di Instagram.

Monday, July 9, 2012

Logo DKI Jakarta

Dalam waktu senggang, biasanya saya berlatih membuat sesuatu yang tak berhubungan langsung dengan pekerjaan. Kali ini saya mempraktekkan kembali tutorial membuat logo yang diberikan oleh LHF.

Sudah beberapa waktu saya gatal ingin meng-update emblem ibu kota, tempat saya tinggal. Desain lambang kota yang masih bernafaskan koloni Belanda itu rasanya sudah tak pas lagi di masa kini. Namun saya yakin untuk mengubahnya perlu waktu dan usaha untuk menembus birokrasi yang berbelit-belit.

Ya sudah, saya buat saja coat of arm DKI Jakarta yang saya rasa cocok dengan masa kini.


Setahun yang lalu, saya juga sempat membuat emblem untuk peringatan 17 Agustus 1945. Kata 'Nasionalisme' tampaknya terlalu panjang, agak maksa. Mungkin sebaiknya saya cari solusi lain...


Emblem yang dulu sempat saya tayangkan di blog ini. Post-nya bisa dilihat di sini.

Saturday, June 9, 2012

Tempo Versi iOS

Tentang Teh dalam iOS. Setelah sekian lama....

Kembali dari Vietnam, saya 'pulang kandang' ke Tempo, walaupun tak ke kursi yang lama. Di kursi yang baru, saya bertanggung jawab atas produk digital Tempo. Untuk saat ini, saya baru memoles Tempo versi iOS.

Versi digital yang tayang di mobile device ini merupakan bentuk lain produk jurnalistik Tempo. Walaupun satu roh, karakteristiknya berbeda sama sekali. Banyak prinsip produk cetak yang harus disesuaikan dengan prinsip interaktivitas produk digital. Begitu pula dengan cara menikmatinya.

Tempo Edisi 11-17 Juni 2012

Majalah yang bisa dinikmati di iPad kini bisa menayangkan audio, video, dan atau web-element. Bisa juga di-tap, swipe, scroll. Ini artinya banyak sekali cara baru untuk menyampaikan sebuah produk jurnalistik, terutama infografik.

Teks tampak semakin kehilangan kekuatannya, tapi ternyata ada beberapa rubrik yang tetap kuat dengan hanya menggunakan teks tanpa ditempeli elemen lain. Dua di antaranya adalah rubrik Bahasa dan Catatan Pinggir.

Hal-hal di atas mengingat saya soal, "Menyampaikan sesuatu dengan teks atau lainnya, itu hanya cara."

Monday, April 2, 2012

The Raid a.k.a. Serbuan Maut


Saya tak akan bahas penghargaan yang diterima dan sambutan terhadap film ini. Sudah banyak yang menuliskannya, jadi saya memilih untuk menuangkan apa yang saya rasakan soal The Raid.


Awalnya, "Film macam apa sih ini?"


Biasanya film-film yang banyak bicara beradu peran dan diselubungi teka-teki lebih bisa menghibur saya dibandingkan film laga tapi untuk The Raid saya buat pengecualian. Saya menaruh harapan di pintu masuk bioskop, masuk studio dengan pikiran terbuka, dan duduk tanpa ekspektasi apa-apa di depan layar.

Saya terganggu dengan cara aktor dan aktris di film ini berdialog. Percakapannya sulit saya pahami karena artikulasinya seperti orang berkumur-kumur dengan cairan empedu. Para memerannya kalau bukan nyerocos tak jelas ujung pangkal, ya terbata-bata seperti tersedak batu kali. Hanya dua orang yang saya mengerti ucapannya ketika mereka menyemburkan caci maki, yang pertama adalah si rambut putih Pierre Gruno dan satu lagi tentu saja Ray Sahetapy.

Tapi, "Hey!, ini film laga bung!"

Kekejian dalam tontonan ini dimulai Tama, yang diperankan Ray, membantai beberapa orang, entah siapa, dengan membungkam, memaksa berlutut, dan menyarangkan apa yang biasa ditembakkan revolver laras pendek itu ke dalam batok-batok kepala mereka satu persatu. Dor... dor... dor... dor... klik. Klik? Klik klik klik! Oh, habis di sasaran terakhir. Sang antagonis dengan gontai mencari peluru untuk mengisi ulang senjata yang digenggamnya. Alih-alih mendapatkan pelor, ia mendapatkan palu. Setelah ia menyeringai, Anda tentu sudah tahu apa kelanjutannya. Adegan selanjutnya membuat saya ingin memuntahkan hotdog yang saya  makan tak lama sebelumnya.

Begitu senapan-senapan yang dipanggul oleh pasukan khusus menyemburkan peluru membalas berondongan pelor dari bedil-bedil sejumlah penghuni apartemen tempat bersarang para penyamun, saya mulai menahan nafas dan mencengkeram lengan kursi.

Timah-timah panas berdesingan merobek kulit, menembus daging, dan menghancurkan tulang. Parang dan belati berkelebat mengiris dan menusuk. Air liur muncrat ketika rahang seseorang dihantam lutut lawannya. Darah bercucuran ketika batang hidung dibogem dengan kepalan yang datang entah dari mana. Gigi-gigi saya gemertak menahan ketegangan yang dijejalkan adegan-adegan laga itu.

Kebrutalan film ini terus berlanjut. Seseorang bukan cuma diterobos peluru tapi juga ditebas parang, diseruduk bogem-bogem mentah, ditendang telapak-telapak kaki. Tubuhnya diangkat lalu dibanting, entah ke lantai, ke meja, atau ke dinding. Belum puas? Yak, dilempar ke jendela, jatuh menghantam lantai dasar. Luluh lantak seperti daging steak mentah digebuk martil kayu. Adegan yang tak cocok ditonton penderita sakit jantung.

Dan, "Wah! Bisa juga rumah produksi tanah air bikin film kayak gini!"

Salut untuk Yayan Ruhian! Rangkaian panjang kombinasi pukulan dan tendangan, dalam dua perkelahian yang melibatkan dia, begitu deras mengalir. Saya bisa merasakan nyeri dia hujamkan pada rusuk pada Joe Taslim yang memerankan Jaka si sersan pemimpin pasukan, sakit yang dia tancapkan pada organ-organ vital Donny Alamsyah yang memerankan Andi, dan derita yang dia tanamkan pada sendi-sendi tulang Iko Uwais yang memerankan Rama sang protagonis.

Lalu, "Yeah! Mad Dog emang paling punya greget!"

Selesai pertunjukkan, film ini masih terus memancing diskusi antara saya dan teman-teman yang menonton bersama. Sepanjang makan malam seusai tontonan itu, kami terus melontarkan pendapat yang mengerutkan kening maupun melepaskan derai tawa. Kami sepakat bahwa penggemar film laga harus menonton film ini. Dan untuk penggemar film jenis lainnya, tontonlah juga film ini. Sebuah milestone perfilman nasional.

Akhirnya, "Tontonlah! Dan jangan bawa anak-anak!"

Tuesday, March 20, 2012

Dua Tahun di Vietnam

Judges Cull. Shoot terakhir di Việt Nam.

Selama hampir dua tahun di Việt Nam, banyak hal yang terpahat dalam hati saya. Dua puluh empat bulan penuh kegiatan seperti atraksi wahana roller coaster. Sepenggal kisah yang tak akan terhapus dari ingatan. Inilah serpihan-serpihan kenangan itu....

WARGA INDONESIA
Selama setahun pertama di Vietnam, waktu saya tersita untuk pekerjaan kantor. Kebetulan kantor, yang merupakan rumah produksi lokal, memang menuntut jam kerja yang enggak menentu. Selain itu, penyesuaian ritme kerja di kantor juga perlu usaha yang lebih keras karena saya sengaja tak meminta penterjemah.

Setelah dua belas bulan lewat, akhirnya saya memutuskan untuk ikut nyemplung ke kegiatan Masyarakat Indonesia di HCMC. Itu pun karena ajakan teman yang dititipkan teman. Ha ha ha, terlambat memang, tapi tak mengurangi keasyikan dan kekonyolan yang bikin nyengir sepanjang tahun.

Dua kegiatan yang membuat saya dekat dengan Masyindo HCMC, yang pertama adalah Indonesia Day, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Konsulat Jendral Republik Indonesia di Ho Chi Minh City. Dalam acara ini, Masyindo dimintai pertolongan oleh KJRI untuk ikut membantu kelancaran acara tersebut. Acara yang berlangsung hanya sehari itu dianggap sukses. Setidaknya panitia berhasil mendangdutkan para pemuda kader partai komunis.

Yang kedua adalah Pesta Rakyat 2011. Pesta ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Nah, demi ramainya acara ini, panitia memajukan peringatan bukan di bulan Agustus tapi di bulan Juni.

Doyan gembira-ria. Teman-teman seperngawuran.

Setelah menjadi teman, akhirnya merekalah yang saya anggap keluarga di HCMC. Apalagi warga kompleks saya doyan nongkrong bareng makan enak, jalan-jalan, dan nonton film. Jadilah.

BHD
Cara kerja mereka yang berbeda sama sekali dengan cara kerja yang saya anggap efisien akhirnya saya anggap bahwa sayalah yang mengalami culture clash. Banyak hal yang sebenarnya bisa dikerjakan dengan lebih mudah dan lebih terencana, dikerjakan dengan awut-awutan. Anehnya, pekerjaan yang saya anggap awut-awutan itu sudah dianggap bagus dan menjadi semacam benchmark di Việt Nam.

Namun, saya banyak belajar dari culture clash tersebut. Sebuah perusahaan yang berdiri sudah limabelas tahun dan rasanya perusahaan itu bisa meroket lebih tinggi, kalau kekhawatiran saya tak jadi kenyataan. Semoga saja tidak.

Makan malam terakhir. Teman-teman kantor segerombolan.

Di kantor saya menjadi dekat dengan para pekerja kasar, pegawai biasa, dan pemilik perusahaan. Awalnya cenderung njelimet dan sering saya merasa dianggap sebagai alien dari planet lain oleh warga Vietnam. Namun karena saya nggak suka pilih-pilih pekerjaan, dengan sendirinya saya dan mereka menjadi dekat dan bahkan jadi teman main.

KOPI
Sekembalinya saya ke Jakarta, indra perasa saya agak-agak terkejut dengan kopi tanah air yang cenderung lebih encer dan tawar dibandingkan dengan kopi negeri Paman Hồ. Wah, gawat! Secangkir kopi super enak bisa saya nikmati di emperan jalan dengan harga VND 6.000, kurang dari setengah Dolar Amerika atau sekitar 2.500 Rupiah Indonesia. Sedangkan kopi di gerai-gerai kedai kopi dari negeri Paman Sam baru bisa didapat dengan harga 30.000 lebih, itupun rasanya ya... begitulah.

Kopi di kota Hà Nội. Makin ke utara makin asam dan kental.

MAKANAN
Tujuh kilogram bobot tubuh saya bertambah di Vietnam. Harga makanan yang kira-kira setengah sampai sepertiga harga makanan di Jakarta membuat saya garuk-garuk getir melihat perut yang membuncit. Itu karena saya jadi makin doyan makan di negeri tersebut.

Entah mengapa, rasa makanan di Vietnam terasa lebih segar dibandingkan makanan di tanah air, terutama sayur mayur. Mungkin karena warga Vietnam sangat gandrung memakan sayur. Mereka lebih kesal kalau makanannya tak ada sayur mayurnya dibandingkan dengan makanan yang tak ada dagingnya.

Restaurant Bobby Chinn. Hidangan di cabang Hà Nội.

Di restoran-restoran yang sudah dianggap mewah, makanannya lebih enak lagi! Ditambah lagi, ya... itu, harganya hanya separuh dari harga yang dibonkan pada kita di Jakarta. Contoh, untuk tujuh orang makan malam di restoran milik Bobby Chinn menghabiskan enam juta Việt Nam Đồng, setara dengan dua setengah juta Rupiah Indonesia. Course-nya lengkap dari pembuka, utama, penutup, plus sebotol anggur.

Gawat deh kalau soal makanan....

BUSANA PEREMPUAN VIETNAM
Ucapan yang pertama kali saya lontarkan pada istri saat pulang ke Jakarta, "Wah, di sini kok perempuan pakaiannya ketutup semua ya."

Phan Anh dan Lê Hồng Nhung.

Untuk perempuan Vietnam, berpakaian minim dan tembus pandang bukan tabu. Tak perempuan, apalagi laki-laki, ada yang risih dengan gaya pakaian mereka yang buka-bukaan menurut standar Indonesia. Di negeri ini saya merasa bahwa memang pakaian dalam adalah bagian dari fashion yang juga harus dipikirkan karena akan terlihat oleh khalayak. Toh, pakaian nasional mereka pun memang menerawang.

Lucunya, tak ada laki-laki yang melotot dengan pandangan menelanjangi saat ada gadis Vietnam yang melintas. Apalagi menggoda dan bersuit-suit. Kalau suka dengan seorang gadis, laki-lakinya biasa langsung mendekati si yang disukai dan mengajak ngobrol. Dan jarang sekali ada gadis Vietnam yang langsung menolak mentah-mentah seorang laki-laki yang mengajak mereka berbicara.