Monday, April 18, 2011

Indonesia Day, Negeri Tercinta di Việt Nam

Poster Indonesia Day, 17 April 2011, HCMC

Empat minggu yang lalu saya diajak teman saya, Yarsep Hanedi untuk membantu membuat printed matters untuk sebuah acara yang dicetuskan Konsulat Jendral Republik Indonesia dengan bekerja sama dengan Masyarakat Indonesia di Hồ Chí Minh City. Wah, kesempatan menarik untuk memberikan secuil kontribusi untuk Indonesia. Tanpa pikir panjang, saya ucapkan janji untuk turut membantu. Salah satu hasilnya adalah poster di atas. Secuil catatan soal acara ini ada di sini.

Seperti biasa, enggak cuman di Indonesia, perancangan poster juga melalui proses tarik ulur, gonta-ganti teks, dan ukuran. Tidak ada yang aneh dalam proses pendesainan berbagai urusan cetak. Nah, ada beberapa hal yang sudah saya duga soal selera lokal. Dalam perancangan itu sengaja saya 'tubrukkan' selera mereka dengan selera Indonesia dan internasional. Ternyata, ya terbukti mental! Bukan persoalan tentunya, karena 'penubrukkan' selera itu bertujuan untuk menguji seberapa jauh daya terima soal perkembangan grafik Việt Nam. Harapannya, Việt Nam sering terekspos selera grafik internasional, mereka bisa menyerap teori desain dibalik perancangan grafik.

Apa saja yang berhasil saya 'keruk' dari Indonesia Day di Việt Nam? Setidaknya, beberapa hal ini...

Heavy on Text
Saya selalu terheran-heran dengan jumlah teks dalam berbagai desain publikasi yang diterbitkan media resmi milik pemerintah, swasta, dan publik. Hampir setiap desainnya selalu heavy on text, penuh tulisan bertele-tele dan bertumpuk-tumpuk. Bukan pula desain yang menampilkan keahlian mengolah tipografi. Ditambah lagi, teks Việt Nam diperlengkapi tanda baca yang membuat typeface-nya makin meriah.

Kesannya, terlalu banyak ngoceh tanpa ada pesan yang sampai. Sulit sekali memberi pengertian bahwa poster yang menggunakan terlalu banyak teks membuat pembaca tak bisa menyerap informasi dengan optimum. Sulit juga memberi pengertian bahwa hanya media-media tertentu yang cocok menggunakan banyak teks.

White Space is A Waste
Begitu ada bidang putih selalu ingin diisi dengan warna, gambar, atau foto. Well, kalau persoalan yang satu ini, terjadi juga di tanah air. Banyak saya dengar dari rekan-rekan sejawat, klien selalu nggak pengen rugi dengan mencetak warna putih karena berarti tak menggunakan tinta.

Apakah sudah saatnya kertas, kain, spanduk, dan lain sebagainya dicetak dalam warna bukan putih? Atau tak mengerti bahwa putih itu juga warna? Atau juga tak mengerti analogi kebanyakan garam?

Fire with Everything You Got
Begitu banyaknya poster propaganda yang mereka miliki, sedikit sekali teori desain grafik yang berhasil diserap oleh masyarakat Việt Nam. Entah mengapa, tak ada yang menyadari bahwa dengan menggunakan typeface sederhana dengan treatment yang sederhana membuat penyampain pesan lebih efektif. Desain yang populer di sini adalah; typeface-nya diberi outline, 3D effects bergradasi, dan drop shadow.

Persoalan seperti itu terjadi juga di tanah air dan sering saya komentari, "Mentang-mentang bisa, enggak berarti semua boleh dipakai." Terus terang, saya selalu enggan melirik sebuah karya desain bila ada dihiasi full-effects dan full-plugins.

No Sense of Association
Soal the power of association memang agak sulit dicerna, bahkan untuk dunia desain grafik Indonesia sekalipun. Akibatnya, ketika ingin menyampaikan sesuatu tentang Indonesia, masyarakt Việt Nam memerlukan sesuatu yang sungguh-sungguh mewakili Indonesia. Tak peduli komposisi warna, typeface, dan bentuk-bentuk tertentu yang sesungguhnya bisa mewakili Indonesia.

Soal asosiasi, saya baru tahu beberapa brand yang berhasil menerapkannya. Saya beri contoh; Marlboro yang tetap berhasil mempertahankan brand-nya saat seluruh elemen grafisnya diganti dengan barcode, Bank Danamon dengan warna khas kombinasi hijau dan jingga, dan Garuda Indonesia yang menerapkan susunan sayap logonya pada ekor pesawat maskapainya.

Stiff Political Policy
Tak ada ruang bermain untuk desain dalam soal pengaturan sesuatu yang penting; harus besar dan paling atas. Soal yang satu ini, saya terpaksa angkat tangan dan tak mampu lagi berkomentar. That was strictly political, dan saya lebih baik mengalah daripada ngotot lalu menghancurkan seluruh rancangan. Soal yang satu ini, Indonesia lebih luwes.

Việt Nam dan Indonesia
Sebelum saya bekerja di Hồ Chí Minh City, semua sangkaan saya soal Việt Nam serba negatif. Namun setelah beberapa hari di Việt Nam, saya terkesan dengan banyaknya  jumlah fasilitas youth center, taman-taman berukuran lebih besar daripada lapangan sepakbola, dan akses gratis wi-fi yang lebih ngebut daripada Jakarta. Entah itu memang niat baik atau propaganda terselubung.

Hồ Chí Minh, Sukarno, Sjafei Soemardja di ITB.

Soal diplomatik, hubungan Indonesia dengan Việt Nam sudah erat sejak kepemimpinan Hồ Chí Minh dan Sukarno, saat komunisme sedang naik pamor di kawasan Asia Tenggara. Salah satu keeratan Indonesia-Việt Nam ditunjukkan dengan diundangnya Paman Hồ ke peresmian kembali Institut Teknologi Bandung, almamater Sukarno, pada 2 Maret 1959. Link foto di atas saya pinjam dari sini dan tentang ITB bisa diintip di sini.

Sunday, April 3, 2011

Kosmonot Indonesia

Di suatu sore yang mendung, saya terkejut membaca tweet Richard Branson. Dalam kicauannya, pendiri Virgin Records itu membeli asteroid Pluto melalui salah satu perusahaannya. Begini kicauannya;
 @ has expanded into many territories over the years, but we have never had our own planet before. 
Visi 'gila' ini memang khas Branson, yang memulai bisnisnya dari perusahaan rekaman. Dengan kerja keras dan kegigihannya ia membangun bisnis dari satu mimpi ke mimpi lain. Kini, ia berhasil melebarkan sayapnya sampai wisata antariksa, Virgin Galactic. Lalu, bum!, ia membeli asteroid.


Memang, link dalam kicauan tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan seperti; siapa pemilik asteroid Pluto dan kok bisa-bisanya sebuah asteroid diklaim sebagai milik sebuah pihak? Lalu, apa yang bakal terjadi bila massa planet Pluto ditambah sehingga boleh diklasifikasikan kembali menjadi planet?

Namun, aksi yang mencengangkan dari Branson itu membuat saya berpikir kembali tentang Indonesia. Jarang di antara kita yang bermimpi sampai setinggi bintang, apalagi mimpi beli asteroid. Pasti tidak ada yang berani, salah satu alasannya takut ditertawakan. Aneh, kalau orang-orang macam Branson bermimpi, kok bisa jadi kenyataan. Sedangkan mimpi-mimpi kita malah jadi dagelan.

Kemudian sebuah rasa penasaran menyelinap ke dalam benak saya. Rasanya, Indonesia juga punya kosmonot—umum disebut astronot. Saya periksa di Wikipedia dan tak ada nama astronot Indonesia di dalam daftar yang tertulis. Lho?

Makin penasaran saya crosscheck melalui Google dan aha!, ternyata status kedua astronot kita masih calon astronot. Ya, calon astronot. Mengapa kok masih calon? Ternyata mereka itu tak pernah berangkat ke antariksa.

Taufik dan Pratiwi. Foto dari wikipedia.org

Mereka adalah astronot utama Pratiwi Pujilestari Sudarmono dan astronot pengganti Taufik Akbar. Wow, astronot utamanya perempuan! Misi pemberangkatan mereka ke antariksa dibatalkan setelah meledaknya pesawat ulang-alik Challanger di tahun 1986. Wah, sayang sekali. Padahal mereka sudah dipersiapkan untuk sebuah misi yang sudah direncanakan tahun 1985.

Setelah Pratiwi dan Taufik, hingga tulisan ini dibuat tak ada lagi warga Indonesia yang menjadi astronot. Ngapain aja kita? Sibuk memperkaya diri sendiri dan melupakan ilmu pengetahuan? Fakta ini lebih mencengangkan daripada membeli asteroid Pluto.


Kebingungan yang saya alami membuat saya terlontar pada rasa penasaran berikutnya; seandainya ada warga Indonesia yang berangkat ke antariksa, maka besar kemungkinan dia muslim. Lalu, apakah hukum-hukum yang dijadikan acuan muslimin di Bumi masih berlaku di antariksa? Bagaimana seandainya astronot muslim bisa sampai ke planet lain?


Ternyata, sudah ada astronot-astronot muslim dari negara lain, termasuk dari Malaysia. Tahun 2003, Malaysia mengumumkan akan mengirim astronot ke International Space Station. Menjawab pengumuman tersebut, tahun 2006, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) dan Agensi Angkasa Negara (Angkasa) sudah berhasil menelurkan sebuah paduan untuk antariksawan muslim. Tahun 2007, Sheikh Muszaphar Sukhor berangkat ke antariksa.


Seandainya Majelis Ulama Indonesia bisa menelurkan fatwa macam fatwa yang dikeluarkan Jakim....


Dan penasaran itu mendekam dalam benak, "Ngapain aja sih kita?"