Tuesday, March 20, 2012

Dua Tahun di Vietnam

Judges Cull. Shoot terakhir di Việt Nam.

Selama hampir dua tahun di Việt Nam, banyak hal yang terpahat dalam hati saya. Dua puluh empat bulan penuh kegiatan seperti atraksi wahana roller coaster. Sepenggal kisah yang tak akan terhapus dari ingatan. Inilah serpihan-serpihan kenangan itu....

WARGA INDONESIA
Selama setahun pertama di Vietnam, waktu saya tersita untuk pekerjaan kantor. Kebetulan kantor, yang merupakan rumah produksi lokal, memang menuntut jam kerja yang enggak menentu. Selain itu, penyesuaian ritme kerja di kantor juga perlu usaha yang lebih keras karena saya sengaja tak meminta penterjemah.

Setelah dua belas bulan lewat, akhirnya saya memutuskan untuk ikut nyemplung ke kegiatan Masyarakat Indonesia di HCMC. Itu pun karena ajakan teman yang dititipkan teman. Ha ha ha, terlambat memang, tapi tak mengurangi keasyikan dan kekonyolan yang bikin nyengir sepanjang tahun.

Dua kegiatan yang membuat saya dekat dengan Masyindo HCMC, yang pertama adalah Indonesia Day, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Konsulat Jendral Republik Indonesia di Ho Chi Minh City. Dalam acara ini, Masyindo dimintai pertolongan oleh KJRI untuk ikut membantu kelancaran acara tersebut. Acara yang berlangsung hanya sehari itu dianggap sukses. Setidaknya panitia berhasil mendangdutkan para pemuda kader partai komunis.

Yang kedua adalah Pesta Rakyat 2011. Pesta ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Nah, demi ramainya acara ini, panitia memajukan peringatan bukan di bulan Agustus tapi di bulan Juni.

Doyan gembira-ria. Teman-teman seperngawuran.

Setelah menjadi teman, akhirnya merekalah yang saya anggap keluarga di HCMC. Apalagi warga kompleks saya doyan nongkrong bareng makan enak, jalan-jalan, dan nonton film. Jadilah.

BHD
Cara kerja mereka yang berbeda sama sekali dengan cara kerja yang saya anggap efisien akhirnya saya anggap bahwa sayalah yang mengalami culture clash. Banyak hal yang sebenarnya bisa dikerjakan dengan lebih mudah dan lebih terencana, dikerjakan dengan awut-awutan. Anehnya, pekerjaan yang saya anggap awut-awutan itu sudah dianggap bagus dan menjadi semacam benchmark di Việt Nam.

Namun, saya banyak belajar dari culture clash tersebut. Sebuah perusahaan yang berdiri sudah limabelas tahun dan rasanya perusahaan itu bisa meroket lebih tinggi, kalau kekhawatiran saya tak jadi kenyataan. Semoga saja tidak.

Makan malam terakhir. Teman-teman kantor segerombolan.

Di kantor saya menjadi dekat dengan para pekerja kasar, pegawai biasa, dan pemilik perusahaan. Awalnya cenderung njelimet dan sering saya merasa dianggap sebagai alien dari planet lain oleh warga Vietnam. Namun karena saya nggak suka pilih-pilih pekerjaan, dengan sendirinya saya dan mereka menjadi dekat dan bahkan jadi teman main.

KOPI
Sekembalinya saya ke Jakarta, indra perasa saya agak-agak terkejut dengan kopi tanah air yang cenderung lebih encer dan tawar dibandingkan dengan kopi negeri Paman Hồ. Wah, gawat! Secangkir kopi super enak bisa saya nikmati di emperan jalan dengan harga VND 6.000, kurang dari setengah Dolar Amerika atau sekitar 2.500 Rupiah Indonesia. Sedangkan kopi di gerai-gerai kedai kopi dari negeri Paman Sam baru bisa didapat dengan harga 30.000 lebih, itupun rasanya ya... begitulah.

Kopi di kota Hà Nội. Makin ke utara makin asam dan kental.

MAKANAN
Tujuh kilogram bobot tubuh saya bertambah di Vietnam. Harga makanan yang kira-kira setengah sampai sepertiga harga makanan di Jakarta membuat saya garuk-garuk getir melihat perut yang membuncit. Itu karena saya jadi makin doyan makan di negeri tersebut.

Entah mengapa, rasa makanan di Vietnam terasa lebih segar dibandingkan makanan di tanah air, terutama sayur mayur. Mungkin karena warga Vietnam sangat gandrung memakan sayur. Mereka lebih kesal kalau makanannya tak ada sayur mayurnya dibandingkan dengan makanan yang tak ada dagingnya.

Restaurant Bobby Chinn. Hidangan di cabang Hà Nội.

Di restoran-restoran yang sudah dianggap mewah, makanannya lebih enak lagi! Ditambah lagi, ya... itu, harganya hanya separuh dari harga yang dibonkan pada kita di Jakarta. Contoh, untuk tujuh orang makan malam di restoran milik Bobby Chinn menghabiskan enam juta Việt Nam Đồng, setara dengan dua setengah juta Rupiah Indonesia. Course-nya lengkap dari pembuka, utama, penutup, plus sebotol anggur.

Gawat deh kalau soal makanan....

BUSANA PEREMPUAN VIETNAM
Ucapan yang pertama kali saya lontarkan pada istri saat pulang ke Jakarta, "Wah, di sini kok perempuan pakaiannya ketutup semua ya."

Phan Anh dan Lê Hồng Nhung.

Untuk perempuan Vietnam, berpakaian minim dan tembus pandang bukan tabu. Tak perempuan, apalagi laki-laki, ada yang risih dengan gaya pakaian mereka yang buka-bukaan menurut standar Indonesia. Di negeri ini saya merasa bahwa memang pakaian dalam adalah bagian dari fashion yang juga harus dipikirkan karena akan terlihat oleh khalayak. Toh, pakaian nasional mereka pun memang menerawang.

Lucunya, tak ada laki-laki yang melotot dengan pandangan menelanjangi saat ada gadis Vietnam yang melintas. Apalagi menggoda dan bersuit-suit. Kalau suka dengan seorang gadis, laki-lakinya biasa langsung mendekati si yang disukai dan mengajak ngobrol. Dan jarang sekali ada gadis Vietnam yang langsung menolak mentah-mentah seorang laki-laki yang mengajak mereka berbicara.