Wednesday, November 29, 2006

Sketchbook 2006 11 29



Iseng-iseng. Biasanya saya tidak mementingkan orientasi media. Sekena dan seenaknya saja.

Wednesday, November 22, 2006

Sketchbook 2006 11 22





Nah, kalau punya waktu senggang, pasti sketchbook terisi gambar-gambar baru. Gambar yang paling atas, saya sudah lupa menggunakan media apa. Kalau boleh dibilang, ya... menggunakan sebagian besar alat-alat yang ada di atas meja. Bahkan sampai sisa-sisa cat air 'oplosan' juga dipakai.

Gambar yang hitam putih, menggunakan tinta Parker. Hanya, dua gambar sebelah kiri menggunakan felt pen, yang lazim disebut pena celup. Gambar paling kanan, menggunakan 000 Cotman 111 Windsor & Newton.

Mungkin iseng-iseng, nanti saya akan mem-post-kan foto yang gambarnya peralatan apa saja yang saya gunakan. Asik kan?

Friday, November 17, 2006

Perbandingan



Inilah perbandingan antara sketsa dengan hasil jadinya. Sketsanya dibuat di atas kertas A4 HVS 80g dengan pensil Staedler HB. Final artwork-nya dibuat di atas kertas A4 Canson 160g. Gambar dari sketsa di-tracing dengan pensil Staedler HB lalu diwarnai dengan Aquatone Derwent. Kuas Koi dengan tabung air. Outline-nya digambar dengan Rotring Drawing Pen 0.1. Kira-kira 2 jam.

Thursday, November 9, 2006

Giclée

Hey guys! I just found something new—at least for me—about one of the media that being disputed in art community. This is my thought:

Tahun 2000, seorang kenalan di kampus sedang menyelesaikan tugas akhir dengan kuliah mayor Seni Grafis. Saat itu banyak yang menyepelekan tugas akhirnya karena tugas akhirnya berbentuk 'print-print-an'. Dan tanpa saya tahu bagaimana prosesnya, akhirnya kenalan saya itu lulus dengan sukses.

Perdebatan soal posisi seni grafis yang dihasilkan dari mesin cetak pribadi—seperti printer— masih jadi perdebatan hingga kini. Karya seni grafis tadi kini lazim disebut sebagai seni grafis cetak digital. Kata cetak digital tentu digunakan untuk menunjukkan relasinya dengan saudara-saudara tuanya, macam cetak tinggi dan cetak saring.


'Hegemoni' Teknologi karya A.C. Andre Tanama
Dokumentasi: Bentara Budaya


Namun, dalam Trienal Seni Grafis Indonesia II yang diselenggarakan di Yogyakarta 4-11 November 2006, cetak digital mendapat pengakuan dari panitia penyelenggara. A.C. Andre Tanama dinobatkan sebagai jawara. Karyanya yang berjudul 'Hegemoni Teknologi' dihasilkan dengan cetak digital. Hasil cetak digital tersebut meniru visualisasi yang dihasilkan oleh teknik cukil kayu. (Revisi: menurut sebuah sumber, proses pembuatan 'Hegemoni Teknologi' memang diawali dengan teknik cukil kayu. Lihat comments untuk informasi yang lebih jelas.—DG)

Pada Trienal I, kategori cetak digital tak dimasukkan. Mungkin karena mazhab seni grafis konvensional masih bercokol kuat. Saat itu cetak digital masih dianggap 'seni kacangan'.

+++
Nun jauh di sana, ternyata sudah ada istilah yang lazim digunakan untuk cetak digital dalam koridor seni, yaitu giclée. Konon, istilah tadi pertama kali diperkenalkan oleh Jack Duganne. Duganne menganggap bahwa seni perlu dirangsang dengan teknologi. Pendapat Duganne yang berkaitan teknologi tadi, tentu ditujukan pada teknologi cetak yang kian canggih. Apalagi kini Duganne memiliki perusahaan percetakan giclée.

Awalnya, seni yang dicetak dengan proses digital, hanya dilakukan untuk memenuhi permintaan biro iklan. Contohnya: proof yang biasa diminta oleh biro iklan sebelum dicetak massal.

Seiring dengan kemajuan teknologi cetak, fotografer yang menggunakan kamera digital juga mulai menggunakan jasa yang disediakan perusahaan percetakan tadi. Para fotografer yang melakukan retouch pada foto-foto yang mereka buat, sangat terbantu dengan adanya giclée. Permintaan mereka termasuk menjadikan foto hitamputih menjadi sephia.

Perkembangan terakhir, teknologi cetak akhirnya mampu mencetak sebuah artwork di atas kanvas biasa dan kertas khusus untuk cat air—dan entah apa lagi di masa depan. Akhirnya, banyak seniman yang akhrinya merangkul perkembangan teknologi ini. Lama kelamaan, seni yang dicetak secara digital mulai diterima di kancah seni. Bahkan, ada seniman-seniman tertentu yang memposisikan diri sebagai seniman digital.

+++
Perdebatan soal mana yang dianggap sebagai seni dan mana yang dianggap bukan, menurut saya sebuah debat kusir yang tak akan ada habisnya kalau diperdebatkan. Lebih baik kita kembali kan seni pada hakikat kata seni, yaitu sebuah kemampuan untuk menghasilkan karya bermutu. Jadi, seorang programmer pun berhak berpredikat seniman. Tapi, kita kan seneng banget mengkotak-kotakkan berbagai hal.

Menurut saya, kenikmatan mengutak-atik media digital ini, sayangnya belum disertai kesadaran bahwa tiap media memiliki karakternya masing-masing. Sebagai contoh, A.C. Andre Tanama masih berusaha menonjolkan karakter cukil kayu dalam karya cetak digital. Padahal kalau kita menengok rekan kita yang gila pixelart, kita bisa langsung mengenali bahwa karyanya sangat menonjolkan karakter digital. Walaupun, menurut Nicholas Negroponte, citra yang terkotak-kotak itu merupakan ketidakmampuan komputer untuk menampilkan citra yang mulus.

Jadi, daripada ribut-ribut memperdebatkan mana yang seni mana yang bukan, lebih baik kita belajar lagi pada si empunya teknologi cetak. Dan ada baiknya istilah giclée yang baru saya kenal ini disebarluaskan.

Check these listings for further information:
Bentara Budaya
Jack Duganne
Nicholas Negroponte
Wikipedia

Friday, November 3, 2006

Mengapa Saya Suka Membaca Komik

Ketika saya sampai lobby kantor, tanpa pikir panjang, segera saya keluarkan sebuah komik yang baru saja saya beli. Masih terbungkus plastik. Srek! saya sobek plastik pembungkusnya dan mojok. Lalu tenggelam dalam cerita konspirasi futuristik.

Seorang editor yang sedang lewat berhenti di samping saya dan mengajukan pertanyaan, "Men, kenape ente seneng bener baca komik?" Spontan saya jawab sambil nyengir, "Karena komik selalu bohong."

+++
Sewaktu saya masih setinggi meja makan, tak pernah terpikir soal alasan apa yang menyebabkan saya suka membaca komik. Dalam mobil yang gelap dalam perjalanan pulang dari toko buku, saya tetap nekad membaca komik yang baru saja dibeli. Bentakan Mama selalu terngiang, "Jangan baca gelap-gelap! Nanti mata kamu rusak!" Toh, tetap saja saya curi-curi baca.

Yang jelas, saya selalu terpesona dengan gambar-gambar yang indah dalam tiap-tiap panel komik. Berwarna atau hitam putih sama saja. Keterpautan panel-panel seolah menciptakan sihir tersendiri. Pikiran saya saat itu menyatakan bahwa saya menyukai komik karena gambarnya yang indah.

Lama-kelamaan, karakter-karakter dalam komik-komik yang saya bacai mulai merasuk ke dalam alam pikiran saya. Seolah-olah saya menyerap nilai-nilai luhur pahlawan dalam komik-komik saya. Ah, saya menyukai komik karena dalam komik saya bisa jadi siapa saja. Apa saja bahkan!

Fuh! Ketika kepala mulai di-upgrade dengan dipasangi logika. Karakter dalam komik itu kelihatan absurd. Ada yang salah dalam komik ini. Ah! ternyata setelah disaring-saring, ketika keindahan gambar dan keluhuran karakter luruh, yang tertinggal hanya cerita. Ya cerita.

Will Eisner berkata bahwa komik adalah sebuah cara dari sebuah kebudayaan yang sama tuanya dengan peradaban: seni mendongeng. Lho, kalau komik itu adalah sebuah alat dalam dunia pendongengan, berarti komik itu bohong semata bukan? Hey! Komik kan ada juga yang berdasarkan cerita nyata.

Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Kenyataan akan rusak oleh sedikit bualan.

+++
Lebih dari seperempat abad saya membaca komik. Akhirnya saya menerima bahwa komik adalah bacaan anak-anak, dongeng belaka. Saya tetap menyukainya. Makin lama makin gila bahkan! Pun, tetap saya tak menemukan jawaban mengapa saya menyukai komik, yang merupakan sebuah bentuk kebohongan.

Akhirnya saya menemukan jawabannya. Kapten Jack Sparrow, tokoh yang diperankan Johnny Depp dalam sebuah film, yang mengucapkannya, "Bukan pembohong yang perlu kau khawatirkan, karena pembohong akan selalu teguh berbohong. Orang jujurlah yang perlu kau perhatikan, karena mereka sering kali berbuat bodoh!"

+++
Editor itu tertawa lepas mendengar jawaban yang saya berikan. "Ente demen komik karena komik (secara sifat kebendaannya) tak pernah punya pretensi untuk menjadi benar ya?"

Saya jawab lagi dengan cengiran.

Wednesday, November 1, 2006

Riyo Dela Macho



Okay, you all might thought that I'm nuts. Well, I am. Ha ha ha ha. The picture above is my goodfellow Riyo. He got good drawing skill and bad taste of joke. So, don't go anywhere near him. You might get drawn awfully.