Priyanto Sunarto. Foto milik DKV FSRD ITB |
UELOGI
Priyanto Sunarto10 Mei 1947 - 17 September 2014
Empat semester saya berkuliah di FSRD, saya sering mendengar nama Priyanto Sunarto berdengung dalam perbincangan sehari-hari di antara para mahasiswa tingkat tiga dan empat. Nama beliau sering mencuat dalam diskusi sehari-hari para dosen. Nama beliau diucapkan seolah-olah nama yang bukan berasal dari muka bumi. Ethereal.
Baru di kelas Ilustrasi III saya bertatap muka dengan beliau di dalam ruangan. Tahun ketiga di kampus inilah baru saya benar-benar melihat pak Pri dengan jelas dalam waktu yang cukup lama.
Beliau tampak biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Perawakannya kira-kira setinggi saya. Pandangannya berkabut seolah-olah menyembunyikan sesuatu. Senyumnya tipis, antara iya dan tidak. Bicaranya tak jelas dengan suaranya yang dalam. Tipe laki-laki yang takkan saya hiraukan bila melintas di keramaian.
Berbanding terbalik dengan reputasinya yang sudah mencapai 'legenda hidup'.
Namun saat itu, dalam waktu kurang dari dua jam saya mulai bisa lihat bentuk asli sang legenda. Pak Pri menunjukkan tajinya, menunjukkan siapa beliau sesungguhnya, membagi ilmunya tanpa takut kehilangan, menyediakan waktunya yang takkan mungkin kembali.
Dalam semester itu dan semester berikutnya, beliau membeberkan koleksi pribadinya dalam proses belajar-mengajar. Koleksinya tak hanya koleksi dua-tiga tahun terakhir tapi koleksi sejak dia mulai mengoleksi, yaitu koleksi masa kanak-kanaknya, masa sekolahnya, masa kuliahnya, masa kerjanya, hingga masa itu. Beliau juga memampangkan karya-karyanya kuliahnya hingga karya-karya beliau yang terbaru, kumpulan karya yang dikumpulkan selama hampir tiga dekade!
Proses yang saya anggap hanya proses belajar-mengajar antara mahasiswa dengan dosennya pelan-pelan berubah menjadi proses master and apprentice, seperti padawan yang berguru pada jedi.
Pak Pri melakukan segalanya dalam proses itu, kecuali satu hal. Menurut saya hal yang tak dilakukan beliau itu merupakan hal yang paling mendasar dari cara beliau mengajar; sang dosen tak pernah mau memberitahu jalan mana yang harus diambil para mahasiswanya.
Dia memaksa kami untuk menentukan jalan kami masing-masing. Menjerumuskan kami untuk memutuskan sesuatu yang kami tak pernah tahu benar atau salah. Mendorong kami untuk berani berbuat daripada diam terbingung-bingung. Ajaibnya, pak Pri tak pernah melakukannya dengan gaya dosen killer, tapi beliau selalu mencabuk kami dengan senyum cengengesan.
Terkesan dengan cara beliau mengajar, saya bertekad untuk 'memaksa' beliau menjadi dosen pembimbing saya untuk tugas akhir nanti. Caranya, ketika semester ketujuh hampir selesai, saya sudah 'menyalip' penentuan dosen-dosen pembimbing tugas akhir dengan menyodorkan beliau contoh calon tugas pamungkas saya. Contoh kasar dari sebuah tugas yang belum pernah dilakukan oleh rekan-rekan mahasiswa sebelum saya, setidaknya sepanjang pengetahuan saya.
Cus. Tugas akhir komik stereogram. |
Saya menyorongkan stereografi dalam bentuk komik sebagai tugas akhir kepada pak Pri. Saat itu beliau berkomentar dengan wajah datar, "Ah, kan masih semester nanti...." Dalam hati saya berkata, "Biarlah, yang penting nekat dulu." Walau tampaknya gagal tapi dua bulan kemudian tekad saya terkabul. Entah karena usaha saya 'menyalip' atau memang hasil diskusi para dosen. Either way, it was all good for me. Jadilah beliau dosen pembimbing saya untuk tugas akhir.
Kata stereografi mungkin terdengar aneh, tapi teknik ini adalah bentuk dasar dari film-film 3D yang kini mulai lazim ditayangkan di bioskop-bioskop. Untuk mencari penjelasan ilmiah mengenai stereografi saya harus menyeberangkan ke jurusan Fisika Teknik. Nah, sebagai landasan teknis, saya menggunakan karya Budi Widagdo yang berjudul 'Perangkat Optik Merekam Gambar Stereo dengan Penyajian Warna'.
Selama bimbingan, pak Pri selalu iya-iya saja. Hanya sesekali bertanya kelengkapan makalah dan hal-hal yang akan dipresentasikan. Khas pak Pri. Namun tiba-tiba di suatu sore beliau menyatakan sesuatu yang mengejutkan, "Nanti ketika presentasi, kamu harus jadi orang yang paling pinter di ruangan." Saya diam saja mendengarnya. Sebab kalau saya bertanya balik, beliau pasti menjawab, "Kamu cari caramu sendiri."
Long story short, saya akhirnya lulus dengan nilai yang saya harapkan.
Selesai berkuliah di FSRD ITB, saya kemudian bekerja di majalah berita mingguan Tempo selama 10 tahun. Ketika di bergabung di Tempo, saya terkejut karena ternyata pak Pri telah berpartisipasi sebagai ilustrator sejak tahun 1977. Dan beliau telah menjadi icon majalah Tempo sebagai kartunis yang tak tergantikan.
Setiap Rabu, pak Pri selalu menghadiri rapat Opini, rapat yang menentukan sikap Tempo setiap edisi. Bahkan di saat-saat terakhir beliau. Kartunis Tempo itu hampir pasti pulang pergi naik kereta api dari Bandung ke Jakarta. Mungkin, itu semacam ritual.
Dua tiga bulan sebelum kepergian beliau, pak Pri masih ngotot datang rapat Opini di Tempo. Beliau sudah ditopang oleh tongkat dan langkahnya sudah tertatih-tatih. Beberapa kali datang di atas kursi roda. Tubuhnya tak seperti dulu lagi, layu.
Tapi ada yang tak berubah. Pak Pri tetap cengangas cengenges bercanda-tawa dengan awak redaksi Tempo dalam rapat dan sesekali berubah serius ketika ada hal yang menarik dan serius dalam rapat Opini. Matanya yang berkabut itu menyala-nyala. Barangkali beliau merasa 'hidup' di rapat itu. Setidaknya itu yang dirasakan istrinya, bu Euis.
Kebetulan yang menarik bahwa pak Priyanto Sunarto wafat di hari Rabu. Membuat saya selalu mengenang pak Pri setiap rapat Opini dilaksanakan.
Sampai jumpa pak Pri, di kehidupan berikutnya.
No comments:
Post a Comment