Foto diambil tanggal 30 Januari 2013. |
EULOGI
Papa James wafat pukul 21.45 pada 24 Februari 2013 di kediamannya, perumahan Anggrek Mas 2, Batam. Beliau lahir 20 Juli 1940 di Ambon, Maluku. Tanggal 4 Juli 1967, papa menikahi mama Erna, kemudian dikaruniai dua putri, yaitu kakak Eka dan Sacha — yang lantas menjadi istri saya tercinta.
Saya pertama kali bertemu beliau tahun 2000 di rumahnya yang berlokasi di Pulomas, Jakarta. Saat itu saya sedang mengunjungi Sacha di suatu malam.
Untuk orang yang berumur 60 tahun, papa masih terlihat gesit dan terampil, langsing namun kukuh. Dengan kemeja lengan panjang yang lengannya disingsingkan, tampak kedua belah tangannya yang kasar dan kasap. Debu dan sisa serutan kayu menempel di ujung-ujung kaki pantalonnya. Dari balik kacamatanya, bola matanya berkilau seperti mutiara hitam, dalam seolah tanpa dasar. Jarang saya bertemu orang seumuran itu dengan binar mata secerah malam berbintang gemintang. Saat itu papa baru menuruni tangga dan menyapa saya sekilas saja.
Berduaan di ruang tamu, Sacha menceritakan tentang papa James serta tempat bernaung yang dicintainya itu. Mendongengi saya tentang ayahnya yang membangun rumah tersebut dari pondasi hingga atap dengan kedua belah tangannya. Mendirikan tiang-tiangnya dengan punggungnya. Merawat setiap sudut dengan hatinya.
Bicara tentang kepribadian, istri saya itu mewarisi gelora papanya. Amarahnya mudah meledak seperti dinamit bersumbu pendek. Pendiriannya teguh seperti karang yang tak mau digeser. Daya upayanya tangguh seperti banteng yang menolak untuk takluk. Pikirannya tajam seperti pisau yang selalu terasah. Anehnya, sekaligus lembut seperti kapas.
Sepanjang cerita, Sacha terus tersenyum dan pandangan matanya menerawang jauh. Saya yakin dalam hatinya ia bangga akan papa James.
Tanggal 25 Februari 2013 adalah saat terakhir saya melihat papa di bawah terang sinar matahari, dihembus angin sejuk, dalam naungan teduh Rumah Duka Marga Thionghoa, Batam. Beliau terbaring dalam tabur bunga anggrek di atas tilam putih dalam peti pernis coklat tua. Papa James masih tampak seperti laki-laki yang saya jumpai di Pulomas. Hanya seperti memejamkan mata, lelap tertidur.
Papa tercinta dikebumikan di pekuburan Sei Temiang sebelum matahari terbenam di cakrawala, di balik nisan-nisan bersalib, di bawah arak-arakan awan. Dikelilingi hamparan rumput, dipagari pohon-pohon, dan dipeluk bukit-bukit. Sejuk dan teduh masih menemani.
Sebelum undur diri, saya hapus titik air mata terakhir di balik kacamata hitam dan menghela nafas keluar dari dada. Dengan tersenyum dan menolak berkata selamat tinggal, "Sampai jumpa lagi papa James. Pasti."