Awalnya, "Film macam apa sih ini?"
Biasanya film-film yang banyak bicara beradu peran dan diselubungi teka-teki lebih bisa menghibur saya dibandingkan film laga tapi untuk The Raid saya buat pengecualian. Saya menaruh harapan di pintu masuk bioskop, masuk studio dengan pikiran terbuka, dan duduk tanpa ekspektasi apa-apa di depan layar.
Saya terganggu dengan cara aktor dan aktris di film ini berdialog. Percakapannya sulit saya pahami karena artikulasinya seperti orang berkumur-kumur dengan cairan empedu. Para memerannya kalau bukan nyerocos tak jelas ujung pangkal, ya terbata-bata seperti tersedak batu kali. Hanya dua orang yang saya mengerti ucapannya ketika mereka menyemburkan caci maki, yang pertama adalah si rambut putih Pierre Gruno dan satu lagi tentu saja Ray Sahetapy.
Tapi, "Hey!, ini film laga bung!"
Kekejian dalam tontonan ini dimulai Tama, yang diperankan Ray, membantai beberapa orang, entah siapa, dengan membungkam, memaksa berlutut, dan menyarangkan apa yang biasa ditembakkan revolver laras pendek itu ke dalam batok-batok kepala mereka satu persatu. Dor... dor... dor... dor... klik. Klik? Klik klik klik! Oh, habis di sasaran terakhir. Sang antagonis dengan gontai mencari peluru untuk mengisi ulang senjata yang digenggamnya. Alih-alih mendapatkan pelor, ia mendapatkan palu. Setelah ia menyeringai, Anda tentu sudah tahu apa kelanjutannya. Adegan selanjutnya membuat saya ingin memuntahkan hotdog yang saya makan tak lama sebelumnya.
Begitu senapan-senapan yang dipanggul oleh pasukan khusus menyemburkan peluru membalas berondongan pelor dari bedil-bedil sejumlah penghuni apartemen tempat bersarang para penyamun, saya mulai menahan nafas dan mencengkeram lengan kursi.
Timah-timah panas berdesingan merobek kulit, menembus daging, dan menghancurkan tulang. Parang dan belati berkelebat mengiris dan menusuk. Air liur muncrat ketika rahang seseorang dihantam lutut lawannya. Darah bercucuran ketika batang hidung dibogem dengan kepalan yang datang entah dari mana. Gigi-gigi saya gemertak menahan ketegangan yang dijejalkan adegan-adegan laga itu.
Kebrutalan film ini terus berlanjut. Seseorang bukan cuma diterobos peluru tapi juga ditebas parang, diseruduk bogem-bogem mentah, ditendang telapak-telapak kaki. Tubuhnya diangkat lalu dibanting, entah ke lantai, ke meja, atau ke dinding. Belum puas? Yak, dilempar ke jendela, jatuh menghantam lantai dasar. Luluh lantak seperti daging steak mentah digebuk martil kayu. Adegan yang tak cocok ditonton penderita sakit jantung.
Dan, "Wah! Bisa juga rumah produksi tanah air bikin film kayak gini!"
Salut untuk Yayan Ruhian! Rangkaian panjang kombinasi pukulan dan tendangan, dalam dua perkelahian yang melibatkan dia, begitu deras mengalir. Saya bisa merasakan nyeri dia hujamkan pada rusuk pada Joe Taslim yang memerankan Jaka si sersan pemimpin pasukan, sakit yang dia tancapkan pada organ-organ vital Donny Alamsyah yang memerankan Andi, dan derita yang dia tanamkan pada sendi-sendi tulang Iko Uwais yang memerankan Rama sang protagonis.
Lalu, "Yeah! Mad Dog emang paling punya greget!"
Selesai pertunjukkan, film ini masih terus memancing diskusi antara saya dan teman-teman yang menonton bersama. Sepanjang makan malam seusai tontonan itu, kami terus melontarkan pendapat yang mengerutkan kening maupun melepaskan derai tawa. Kami sepakat bahwa penggemar film laga harus menonton film ini. Dan untuk penggemar film jenis lainnya, tontonlah juga film ini. Sebuah milestone perfilman nasional.
Akhirnya, "Tontonlah! Dan jangan bawa anak-anak!"