Lucunya, dua kesempatan puasa Ramadhan tahun ini dan tahun lalu sama sekali tak terasa berat. Ada beberapa alasan. Yang pertama, istri saya semakin rajin memasakkan sahur. Semakin hari masakannya makin lama makin lezat. Dan yang terpenting, dia memasakkan masakan yang sesuai dengan selera saya.
Selamat Menikmati. Hidangan yang disiapkan istri. |
Yang kedua, karena teman-teman Việt Nam seluruhnya bukan muslim mereka beraktivitas seperti biasa. Begitu pula dengan teman-teman kantor, selain tiga orang dari Indonesia, semuanya tentunya tak berpuasa dan juga bekerja juga seperti biasa. Jadi tak ada wajah-wajah lesu di kantor yang mempengaruhi saya.
Sebagai alasan ketiga, rasa rindu akan masakan Indonesia mudah terobati dengan rekan-rekan yang mengadakan buka puasa bersama, beken disebut bukber. Dua hari lalu, Masyarakat Indonesia di HCMC dibantu Konsulat Jenderal Republik Indonesia melaksanakan buka puasa bersama. Saat itu tersedia bala-bala a.k.a. bakwan yang rasanya juara! Dan dua bulan lalu telah buka restoran khas masakan Indonesia di Hô Chí Minh City, Sari Indo namanya. Lokasinya tepatnya ada di 70 Mạc Đĩnh Chi, phường Bến Nghé, Quận 1. Atau klik untuk melihat lokasi di Google Maps.
Update: Restoran ini sudah tutup.
Sesaat sebelum adzan maghrib, tak perlu berdesak-desakan di rumah-rumah makan terdekat. Dengan santai orang-orang yang hendak membatalkan puasanya dapat memesan teh panas, kue-kue, dan atau penganan khas negeri paman Hô. Itu jadi alasan nomor empat.
Suaka rohani. Dibangun tahun 1935 oleh para pedagang dari India. |
Tahun lalu saya bersama keluarga melaksakan shalat Idul Fitri juga di kota ini, di sebuah masjid di tengah kota. Masjid yang biasa saya kunjungi karena dekat dari kantor dan dekat ke mana-mana berlokasi di 66, Đông Du, phường Bến Nghé, Quận 1. Kini masjid ini dipenuhi oleh pemeluk agama Islam dari Afrika, Persia, India, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Lokasi akuratnya silakan klik.
Yang keenam, dan yang paling berkesan, adalah saya bisa tersenyum lebih banyak di dua Ramadhan terakhir ini. Teman-teman kantor yang tahu saya berpuasa sering kali cengengesan sambil bercanda mengajak makan dan memeriksa perut saya apakah sudah keroncongan atau belum. Lalu mereka selalu geleng-geleng keheranan kalau tahu kalau selama ada cahaya matahari saya juga tak boleh minum. Lalu teman saya dari bagian purchasing suka sekali bergulat dengan saya untuk menguji saya lemas atau tidak. Waktu mereka tahu saya tak boleh berkata kasar, bertindak buruk, tak boleh membalas kalau digoda, dan sebagainya, mereka tertawa-tawa dan berkata jahil, "Aha! Sekarang saatnya ngegebukin Moerat!" Which they usually did. And I feel great because they don't pity me.
Dengan berbagai kondisi yang berpotensi mempersulit shaum, nyatanya segala sesuatu malah sangat mudah. Rekan kerja makan pizza dengan aroma yang mengepul memenuhi ruangan ketika rapat di siang hari sama sekali tak membuyarkan konsentrasi. Tak pula bangkit berahi melihat kelebatan pemudi-pemudi di kota ini yang berpakaian relatif lebih terbuka dan menerawang. Juga tiada amarah yang tersulut melihat pria-pria Việt Nam menikmati berbotol-botol bir di tepi-tepi jalan.
Dugaan saya, yang saya alami di Việt Nam pasti dialami juga oleh rekan-rekan dari Indonesia. Saya duga rekan-rekan di Thailand, Burma, Laos, Kamboja, dan Filipina juga mengalaminya.
Menjadi minoritas bukan hal yang menyulitkan apalagi mengerikan.
Kaki lima. Kedai di tepi jalan di Bangkok, Thailand. |
Terbalik dengan yang terjadi di tanah air, sudah sedemikian mudahnya menjalankan ibadah puasa di bulan yang penuh rahmat, masih juga tak sanggup hawa nafsu. Atas nama Ramadhan, golongan yang kuat dan mengaku umat terbaik menggilas kaum lemah yang dituduh jahil dan munkar.
Saya tak pernah mau terganggu dengan orang-orang yang tidak puasa. Tak pernah pula mau memaksakan orang lain ikut menikmati bulan penuh rahmat dengan menurunkan tirai-tirai di rumah-rumah makan, menutup toko-toko yang menjualan penganan, apalagi sampai merusak dan meluluhlantakkannya.
Saya bersyukur karena telah memilih untuk bersikap demikian karena saya tak perlu melumuri tangan saya dengan darah dan air mata akibat menghancurkan sebuah negeri karena harus mengikuti apa yang saya percaya, membantai sebuah bangsa karena saya tak sanggup menahan lapar dan dahaga.
Dalam berbagai kisah, penyebab utama hancurnya sebuah bangsa biasanya bukan karena serbuan bangsa lain. Melainkan hancur oleh tingkah laku dan perangai buruk bangsa itu sendiri. Invasi hanya pemicu.
Jadi, untuk tak yang tidak berpuasa silakan menikmati hidangan. Tak usah sungkan.