Hari ini aku sendiri saja di kediamanku di Hồ Chí Minh City, gelap seperti biasanya. Bulan mengintip dari awan yang menggantung. Ruang-ruang di apartemen ini juga temaram, hanya tinggal satu benda bercahaya redup yang siap kupadamkan; laptop penyak-penyok kesayanganku.
Sebelum sempat kupadamkan, di layar browser ada pesan dalam kicauan Tweeter milik Wenni, "Paging Tongsigaangsa & alumni Seni Rupa ITB, just got the bad news, our beloved friend just passed away. Further follow @edykhemod"
Ya ampun! Segera kubalas, "@Wenni siapa yang 'passed away'?"
"Wisnumurti, doain ya Rat...."
01.00
Masih termangu, menatap nanar cahaya redup dari keyboard laptop. Tak ada yang bisa kuperbuat untuk meringankan tindihan sesak nafas ini. Tak ada yang bisa mengobati koyaknya hati ini.
Selama tiga jam ini, aku hanya sanggup menuliskan kenangan tentang Wisnu di timeline Tweeter. Ingatan itu seperti air bah, seperti ini...
Selamat jalan Albertus Wisnumurti. Seperti yang selalu kita tahu, masih ada petualangan lain setelah hidup selesai.Albertus Wisnumurti telah tiada. Dia sedikit bicara, banyak bertindak. Mengagumi api yang menyala-nyala, seperti semangat dalam hatinya.Sesekali Albertus Wisnumurti mengungkapkan isi hatinya. Tak mudah dimengerti, namun kita bisa hanyut mendengarnya. Kini kisah hatinya usai.Aku tak begitu mengenal Albertus Wisnumurti. Tapi Wisnu, sahabatku itu, selalu tersenyum di saat-saat sulit.Albertus Wisnumurti terpatri di ingatan dan terpahat di hati sebagai pria yang selalu belepotan cat warna-warni. Seperti cerita hidupnya.Rokok kretek dan kopi kental. Banyak yang sulit untuk bisa menikmati dan menghargainya. Begitu pula Albertus Wisnumurti.Pria itu melayang-layang dalam kepulan asap rokok kretek di atas uap kopi kental panas. Begitulah Albertus Wisnumurti saat berpikir keras.Banyak orang yang sungkan memilih jalan yang tak tahu ujungnya di mana. Sekali lagi, Albertus Wisnumurti menyalip kita di tikungan tajam.Albertus Wisnumurti, kau memang keras kepala. Tapi kali ini aku tahu, kau mendengarkan kisahku tentangmu yang kuceritakan ke khalayak.Kantuk sudah menggantungiku. Kini kujelang tidur. Barangkali dalam mimpi, sempat kuucapkan selamat jalan untuk Albertus Wisnumurti.Tubuhku tak bisa mengaraknya. Air mataku tak bisa membasuhnya. Tapi hatiku sanggup mengantar dan doaku mengiringi Albetus Wisnumurti.Albertus Wisnumurti, istirahatlah sejenak, di dunia tak pernah memejamkan mata apalagi mengenal lelah. Alam yang senyap itu.Lapangan sakral itu dibakar Albertus Wisnumurti. Ia tak bermaksud menghanguskannya tapi hanya ingin menyulut api di hati kita.
Kemudian tubuhku tak sanggup melawan lelah dan kelopak mata ini menolak membelalak. Akhirnya, kututup jendela browser dan kupadamkan laptop-ku. Dengan gontai aku masuk ke ruangan tidur, kurebahkan tubuhku dan kupejamkan mata.Tidur dalam kesendirian. Diam-diam, air mataku meleleh.
06.45
Ah! Kepalaku berat, benakku ngilu, mataku bengkak. Ya, sepertinya dalam tidur aku menangisi kepergian Wisnu. Mimpi yang kuharapkan tak terjadi. Jiwanya tak mampir dalam mimpiku.
Kemudian aku sarapan sereal dan susu, dengan syukur kunikmati makan pagiku. Mandi di bawah pancuran air panas yang terasa begitu dingin. Mengenakan kaus, celana denim, dan sneaker. Lalu berangkat ke kantor dengan xe ôm—bahasa Việt Nam untuk ojek.
Sesampainya di kantor, kunyalakan komputer. Dan kupandangi layar dan kuiikuti pemakaman sahabatku itu. Entah seperti apa cuaca di Jakarta, tapi kicauku....
Pagi ini matahari bersinar cerah di antara awan mendung. Memberi celah untuk mengantar Albertus Wisnumurti.
Setelah peti yang memuat Wisnu tak lagi terlihat tertimbun tanah, bunga, tetes air mata, dan doa, kukicaukan....
Albertus Wisnumurti telah kembali dalam abu dan debu. Yang tinggal hanya kenangan soal semangatnya yang terus berkobar dan menggebu.
Diam-diam, air mata mulai kembali menggenangi bola mataku. Mengaburkan pandanganku. Kutengadahkan kepalaku dan kutarik nafas dalam-dalam. Ah, sesak ini sedikit terobati walaupun tak sama sekali hilang.
Lalu kulihat arloji digitalku, 14.36. Lalu anganku melayang....
1996 - 2000
Empat tahun aku berkuliah bersama Wisnu. Aku tak tau banyak hal tentangnya. Hanya Gudang Garam, kopi Kapal Api, dan Bir Bintang. Juga kebisuannya dalam malam-malam senyap di Kota Kembang.
Ia tak banyak cakap tapi dalam bungkamnya, aku belajar banyak dari pria gondrong itu—ya, saat kuliah dia gondrong sepantat. Dari gerak-geriknya aku belajar untuk melakukan segala sesuatu dengan perlahan tapi pasti. Dari kepulan asap yang keluar dari hidung dan mulutnya aku belajar untuk berpikir sebelum bertindak. Dari cara dia menyeruput kopi aku belajar cara menikmati hidup. Dan bahkan dalam amuknya, aku belajar bahwa amuk itu bukan untuk membakar habis amarah jiwa tapi untuk menyemangati mengajak mengubah kebuntuan.
Pria dengan bibir di pantatnya itu—yes, you know what I'm talkin' about—berani berbuat apa-apa yang takut kita lakukan. Bukan karena salah tapi karena tak populer dipandangan masyarakat, di kalangan FSRD ITB sekalipun. Dialah contoh pemberontakan tanpa banyak kata-kata.
Dalam ingatan ini, hampir setiap kegiatan di kampus selalu ada kelebat si pria vintage itu. Bukan, dia bukan pria yang jadi pusat perhatian. Tapi dialah pilar yang meyangga. Bahu yang memanggul idola-idola kampus.
Sejarah tak akan mencatat temanku Albertus Wisnumurti. Tapi itu tak penting. Sebab ia telah menyalakan api di hati sahabat-sahabatnya. Dialah pengobar semangat.
Si Pengobar Semangat. Foto oleh Berti Alia Bahaduri. |
Jumat | 2010.07.15 | 21.50
Duapuluh empat jam sudah lewat sejak kubaca berita wafatnya Wisnu, istriku kembali dari Càn Thơ. Akhirnya aku bisa menangis lega dalam sebuah pelukan. Melepas kepergian si pelopor. Dan, ah! Ada Mama Mia di HBO. Semua kenangan indah yang sunyi itu kini diisi lagu-lagu ABBA.
Kuucapkan dalam hati kepada Wisnu, "Nu, sudah kuluapkan isi hatiku ini. Kini aku akan berhenti menangis dan kembali meneruskan langkahku karena kau pun melangkah ke dunia itu. Selamat jalan! Bila sudah saatnya, aku 'kan menyusul."
N.B. Ada tweet-tweet yang sedikit direvisi demi mematuhi kaidah bahasa Indonesia.