I'm sorry for lack of update. Saya sedang melakukan peralihan software di kantor. Sehingga kami dapat bekerja terintegrasi. Nanti akan saya ceritakan bagaimana proses peralihan itu dilakukan.
Thanks
Tuesday, December 19, 2006
Monday, December 11, 2006
Digital Comic Making
The copyrights of the artwork above belongs to Mitsurou Fujimoto.
Klik gambar di atas untuk menampilkan animated GIF.
Gambar di atas merupakan gambar Mitsurou Fujimoto yang di-upload di WACOM Asia. Memang gaya gambarnya sangat manga, tapi proses dan penggunaan medianya berubah. Inilah tehnik yang selalu saya gembar-gemborkan. Tehnik yang sangat hemat biaya dan waktu, walaupun pada awalnya membutuhkan investasi yang cukup boros: tablet WACOM.
Namun, menurut saya, tehnik-tehnik konvensional perlu juga dipelajari. Karena membuat komik secara digital juga memerlukan tehnik-tehnik dasar masing-masing media yang dipergunakan. Contoh, sebuah pena memiliki karakternya sendiri. Nah, setelah itu perlu juga mempelajari feel dari pen tool, baik di Painter maupun Photoshop. Kalau sudah mempelajari dan memahami tehnik-tehnik dari kedua media tadi, dijamin bakal fasih.
Mungkin beberapa saat lagi situs yang saya berikan di atas bakal diturunkan. Jadi kalau-kalau telat mengaksesnya... ya... mohon maaf. Ha ha ha.
Wednesday, November 29, 2006
Thursday, November 23, 2006
Wednesday, November 22, 2006
Sketchbook 2006 11 22
Nah, kalau punya waktu senggang, pasti sketchbook terisi gambar-gambar baru. Gambar yang paling atas, saya sudah lupa menggunakan media apa. Kalau boleh dibilang, ya... menggunakan sebagian besar alat-alat yang ada di atas meja. Bahkan sampai sisa-sisa cat air 'oplosan' juga dipakai.
Gambar yang hitam putih, menggunakan tinta Parker. Hanya, dua gambar sebelah kiri menggunakan felt pen, yang lazim disebut pena celup. Gambar paling kanan, menggunakan 000 Cotman 111 Windsor & Newton.
Mungkin iseng-iseng, nanti saya akan mem-post-kan foto yang gambarnya peralatan apa saja yang saya gunakan. Asik kan?
Friday, November 17, 2006
Perbandingan
Inilah perbandingan antara sketsa dengan hasil jadinya. Sketsanya dibuat di atas kertas A4 HVS 80g dengan pensil Staedler HB. Final artwork-nya dibuat di atas kertas A4 Canson 160g. Gambar dari sketsa di-tracing dengan pensil Staedler HB lalu diwarnai dengan Aquatone Derwent. Kuas Koi dengan tabung air. Outline-nya digambar dengan Rotring Drawing Pen 0.1. Kira-kira 2 jam.
Thursday, November 9, 2006
Giclée
Hey guys! I just found something new—at least for me—about one of the media that being disputed in art community. This is my thought:
Tahun 2000, seorang kenalan di kampus sedang menyelesaikan tugas akhir dengan kuliah mayor Seni Grafis. Saat itu banyak yang menyepelekan tugas akhirnya karena tugas akhirnya berbentuk 'print-print-an'. Dan tanpa saya tahu bagaimana prosesnya, akhirnya kenalan saya itu lulus dengan sukses.
Perdebatan soal posisi seni grafis yang dihasilkan dari mesin cetak pribadi—seperti printer— masih jadi perdebatan hingga kini. Karya seni grafis tadi kini lazim disebut sebagai seni grafis cetak digital. Kata cetak digital tentu digunakan untuk menunjukkan relasinya dengan saudara-saudara tuanya, macam cetak tinggi dan cetak saring.
'Hegemoni' Teknologi karya A.C. Andre Tanama
Dokumentasi: Bentara Budaya
Namun, dalam Trienal Seni Grafis Indonesia II yang diselenggarakan di Yogyakarta 4-11 November 2006, cetak digital mendapat pengakuan dari panitia penyelenggara. A.C. Andre Tanama dinobatkan sebagai jawara. Karyanya yang berjudul 'Hegemoni Teknologi' dihasilkan dengan cetak digital. Hasil cetak digital tersebut meniru visualisasi yang dihasilkan oleh teknik cukil kayu. (Revisi: menurut sebuah sumber, proses pembuatan 'Hegemoni Teknologi' memang diawali dengan teknik cukil kayu. Lihat comments untuk informasi yang lebih jelas.—DG)
Pada Trienal I, kategori cetak digital tak dimasukkan. Mungkin karena mazhab seni grafis konvensional masih bercokol kuat. Saat itu cetak digital masih dianggap 'seni kacangan'.
+++
Nun jauh di sana, ternyata sudah ada istilah yang lazim digunakan untuk cetak digital dalam koridor seni, yaitu giclée. Konon, istilah tadi pertama kali diperkenalkan oleh Jack Duganne. Duganne menganggap bahwa seni perlu dirangsang dengan teknologi. Pendapat Duganne yang berkaitan teknologi tadi, tentu ditujukan pada teknologi cetak yang kian canggih. Apalagi kini Duganne memiliki perusahaan percetakan giclée.
Awalnya, seni yang dicetak dengan proses digital, hanya dilakukan untuk memenuhi permintaan biro iklan. Contohnya: proof yang biasa diminta oleh biro iklan sebelum dicetak massal.
Seiring dengan kemajuan teknologi cetak, fotografer yang menggunakan kamera digital juga mulai menggunakan jasa yang disediakan perusahaan percetakan tadi. Para fotografer yang melakukan retouch pada foto-foto yang mereka buat, sangat terbantu dengan adanya giclée. Permintaan mereka termasuk menjadikan foto hitamputih menjadi sephia.
Perkembangan terakhir, teknologi cetak akhirnya mampu mencetak sebuah artwork di atas kanvas biasa dan kertas khusus untuk cat air—dan entah apa lagi di masa depan. Akhirnya, banyak seniman yang akhrinya merangkul perkembangan teknologi ini. Lama kelamaan, seni yang dicetak secara digital mulai diterima di kancah seni. Bahkan, ada seniman-seniman tertentu yang memposisikan diri sebagai seniman digital.
+++
Perdebatan soal mana yang dianggap sebagai seni dan mana yang dianggap bukan, menurut saya sebuah debat kusir yang tak akan ada habisnya kalau diperdebatkan. Lebih baik kita kembali kan seni pada hakikat kata seni, yaitu sebuah kemampuan untuk menghasilkan karya bermutu. Jadi, seorang programmer pun berhak berpredikat seniman. Tapi, kita kan seneng banget mengkotak-kotakkan berbagai hal.
Menurut saya, kenikmatan mengutak-atik media digital ini, sayangnya belum disertai kesadaran bahwa tiap media memiliki karakternya masing-masing. Sebagai contoh, A.C. Andre Tanama masih berusaha menonjolkan karakter cukil kayu dalam karya cetak digital. Padahal kalau kita menengok rekan kita yang gila pixelart, kita bisa langsung mengenali bahwa karyanya sangat menonjolkan karakter digital. Walaupun, menurut Nicholas Negroponte, citra yang terkotak-kotak itu merupakan ketidakmampuan komputer untuk menampilkan citra yang mulus.
Jadi, daripada ribut-ribut memperdebatkan mana yang seni mana yang bukan, lebih baik kita belajar lagi pada si empunya teknologi cetak. Dan ada baiknya istilah giclée yang baru saya kenal ini disebarluaskan.
Check these listings for further information:
Bentara Budaya
Jack Duganne
Nicholas Negroponte
Wikipedia
Tahun 2000, seorang kenalan di kampus sedang menyelesaikan tugas akhir dengan kuliah mayor Seni Grafis. Saat itu banyak yang menyepelekan tugas akhirnya karena tugas akhirnya berbentuk 'print-print-an'. Dan tanpa saya tahu bagaimana prosesnya, akhirnya kenalan saya itu lulus dengan sukses.
Perdebatan soal posisi seni grafis yang dihasilkan dari mesin cetak pribadi—seperti printer— masih jadi perdebatan hingga kini. Karya seni grafis tadi kini lazim disebut sebagai seni grafis cetak digital. Kata cetak digital tentu digunakan untuk menunjukkan relasinya dengan saudara-saudara tuanya, macam cetak tinggi dan cetak saring.
'Hegemoni' Teknologi karya A.C. Andre Tanama
Dokumentasi: Bentara Budaya
Namun, dalam Trienal Seni Grafis Indonesia II yang diselenggarakan di Yogyakarta 4-11 November 2006, cetak digital mendapat pengakuan dari panitia penyelenggara. A.C. Andre Tanama dinobatkan sebagai jawara. Karyanya yang berjudul 'Hegemoni Teknologi' dihasilkan dengan cetak digital. Hasil cetak digital tersebut meniru visualisasi yang dihasilkan oleh teknik cukil kayu. (Revisi: menurut sebuah sumber, proses pembuatan 'Hegemoni Teknologi' memang diawali dengan teknik cukil kayu. Lihat comments untuk informasi yang lebih jelas.—DG)
Pada Trienal I, kategori cetak digital tak dimasukkan. Mungkin karena mazhab seni grafis konvensional masih bercokol kuat. Saat itu cetak digital masih dianggap 'seni kacangan'.
+++
Nun jauh di sana, ternyata sudah ada istilah yang lazim digunakan untuk cetak digital dalam koridor seni, yaitu giclée. Konon, istilah tadi pertama kali diperkenalkan oleh Jack Duganne. Duganne menganggap bahwa seni perlu dirangsang dengan teknologi. Pendapat Duganne yang berkaitan teknologi tadi, tentu ditujukan pada teknologi cetak yang kian canggih. Apalagi kini Duganne memiliki perusahaan percetakan giclée.
Awalnya, seni yang dicetak dengan proses digital, hanya dilakukan untuk memenuhi permintaan biro iklan. Contohnya: proof yang biasa diminta oleh biro iklan sebelum dicetak massal.
Seiring dengan kemajuan teknologi cetak, fotografer yang menggunakan kamera digital juga mulai menggunakan jasa yang disediakan perusahaan percetakan tadi. Para fotografer yang melakukan retouch pada foto-foto yang mereka buat, sangat terbantu dengan adanya giclée. Permintaan mereka termasuk menjadikan foto hitamputih menjadi sephia.
Perkembangan terakhir, teknologi cetak akhirnya mampu mencetak sebuah artwork di atas kanvas biasa dan kertas khusus untuk cat air—dan entah apa lagi di masa depan. Akhirnya, banyak seniman yang akhrinya merangkul perkembangan teknologi ini. Lama kelamaan, seni yang dicetak secara digital mulai diterima di kancah seni. Bahkan, ada seniman-seniman tertentu yang memposisikan diri sebagai seniman digital.
+++
Perdebatan soal mana yang dianggap sebagai seni dan mana yang dianggap bukan, menurut saya sebuah debat kusir yang tak akan ada habisnya kalau diperdebatkan. Lebih baik kita kembali kan seni pada hakikat kata seni, yaitu sebuah kemampuan untuk menghasilkan karya bermutu. Jadi, seorang programmer pun berhak berpredikat seniman. Tapi, kita kan seneng banget mengkotak-kotakkan berbagai hal.
Menurut saya, kenikmatan mengutak-atik media digital ini, sayangnya belum disertai kesadaran bahwa tiap media memiliki karakternya masing-masing. Sebagai contoh, A.C. Andre Tanama masih berusaha menonjolkan karakter cukil kayu dalam karya cetak digital. Padahal kalau kita menengok rekan kita yang gila pixelart, kita bisa langsung mengenali bahwa karyanya sangat menonjolkan karakter digital. Walaupun, menurut Nicholas Negroponte, citra yang terkotak-kotak itu merupakan ketidakmampuan komputer untuk menampilkan citra yang mulus.
Jadi, daripada ribut-ribut memperdebatkan mana yang seni mana yang bukan, lebih baik kita belajar lagi pada si empunya teknologi cetak. Dan ada baiknya istilah giclée yang baru saya kenal ini disebarluaskan.
Check these listings for further information:
Bentara Budaya
Jack Duganne
Nicholas Negroponte
Wikipedia
Friday, November 3, 2006
Mengapa Saya Suka Membaca Komik
Ketika saya sampai lobby kantor, tanpa pikir panjang, segera saya keluarkan sebuah komik yang baru saja saya beli. Masih terbungkus plastik. Srek! saya sobek plastik pembungkusnya dan mojok. Lalu tenggelam dalam cerita konspirasi futuristik.
Seorang editor yang sedang lewat berhenti di samping saya dan mengajukan pertanyaan, "Men, kenape ente seneng bener baca komik?" Spontan saya jawab sambil nyengir, "Karena komik selalu bohong."
+++
Sewaktu saya masih setinggi meja makan, tak pernah terpikir soal alasan apa yang menyebabkan saya suka membaca komik. Dalam mobil yang gelap dalam perjalanan pulang dari toko buku, saya tetap nekad membaca komik yang baru saja dibeli. Bentakan Mama selalu terngiang, "Jangan baca gelap-gelap! Nanti mata kamu rusak!" Toh, tetap saja saya curi-curi baca.
Yang jelas, saya selalu terpesona dengan gambar-gambar yang indah dalam tiap-tiap panel komik. Berwarna atau hitam putih sama saja. Keterpautan panel-panel seolah menciptakan sihir tersendiri. Pikiran saya saat itu menyatakan bahwa saya menyukai komik karena gambarnya yang indah.
Lama-kelamaan, karakter-karakter dalam komik-komik yang saya bacai mulai merasuk ke dalam alam pikiran saya. Seolah-olah saya menyerap nilai-nilai luhur pahlawan dalam komik-komik saya. Ah, saya menyukai komik karena dalam komik saya bisa jadi siapa saja. Apa saja bahkan!
Fuh! Ketika kepala mulai di-upgrade dengan dipasangi logika. Karakter dalam komik itu kelihatan absurd. Ada yang salah dalam komik ini. Ah! ternyata setelah disaring-saring, ketika keindahan gambar dan keluhuran karakter luruh, yang tertinggal hanya cerita. Ya cerita.
Will Eisner berkata bahwa komik adalah sebuah cara dari sebuah kebudayaan yang sama tuanya dengan peradaban: seni mendongeng. Lho, kalau komik itu adalah sebuah alat dalam dunia pendongengan, berarti komik itu bohong semata bukan? Hey! Komik kan ada juga yang berdasarkan cerita nyata.
Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Kenyataan akan rusak oleh sedikit bualan.
+++
Lebih dari seperempat abad saya membaca komik. Akhirnya saya menerima bahwa komik adalah bacaan anak-anak, dongeng belaka. Saya tetap menyukainya. Makin lama makin gila bahkan! Pun, tetap saya tak menemukan jawaban mengapa saya menyukai komik, yang merupakan sebuah bentuk kebohongan.
Akhirnya saya menemukan jawabannya. Kapten Jack Sparrow, tokoh yang diperankan Johnny Depp dalam sebuah film, yang mengucapkannya, "Bukan pembohong yang perlu kau khawatirkan, karena pembohong akan selalu teguh berbohong. Orang jujurlah yang perlu kau perhatikan, karena mereka sering kali berbuat bodoh!"
+++
Editor itu tertawa lepas mendengar jawaban yang saya berikan. "Ente demen komik karena komik (secara sifat kebendaannya) tak pernah punya pretensi untuk menjadi benar ya?"
Saya jawab lagi dengan cengiran.
Seorang editor yang sedang lewat berhenti di samping saya dan mengajukan pertanyaan, "Men, kenape ente seneng bener baca komik?" Spontan saya jawab sambil nyengir, "Karena komik selalu bohong."
+++
Sewaktu saya masih setinggi meja makan, tak pernah terpikir soal alasan apa yang menyebabkan saya suka membaca komik. Dalam mobil yang gelap dalam perjalanan pulang dari toko buku, saya tetap nekad membaca komik yang baru saja dibeli. Bentakan Mama selalu terngiang, "Jangan baca gelap-gelap! Nanti mata kamu rusak!" Toh, tetap saja saya curi-curi baca.
Yang jelas, saya selalu terpesona dengan gambar-gambar yang indah dalam tiap-tiap panel komik. Berwarna atau hitam putih sama saja. Keterpautan panel-panel seolah menciptakan sihir tersendiri. Pikiran saya saat itu menyatakan bahwa saya menyukai komik karena gambarnya yang indah.
Lama-kelamaan, karakter-karakter dalam komik-komik yang saya bacai mulai merasuk ke dalam alam pikiran saya. Seolah-olah saya menyerap nilai-nilai luhur pahlawan dalam komik-komik saya. Ah, saya menyukai komik karena dalam komik saya bisa jadi siapa saja. Apa saja bahkan!
Fuh! Ketika kepala mulai di-upgrade dengan dipasangi logika. Karakter dalam komik itu kelihatan absurd. Ada yang salah dalam komik ini. Ah! ternyata setelah disaring-saring, ketika keindahan gambar dan keluhuran karakter luruh, yang tertinggal hanya cerita. Ya cerita.
Will Eisner berkata bahwa komik adalah sebuah cara dari sebuah kebudayaan yang sama tuanya dengan peradaban: seni mendongeng. Lho, kalau komik itu adalah sebuah alat dalam dunia pendongengan, berarti komik itu bohong semata bukan? Hey! Komik kan ada juga yang berdasarkan cerita nyata.
Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Kenyataan akan rusak oleh sedikit bualan.
+++
Lebih dari seperempat abad saya membaca komik. Akhirnya saya menerima bahwa komik adalah bacaan anak-anak, dongeng belaka. Saya tetap menyukainya. Makin lama makin gila bahkan! Pun, tetap saya tak menemukan jawaban mengapa saya menyukai komik, yang merupakan sebuah bentuk kebohongan.
Akhirnya saya menemukan jawabannya. Kapten Jack Sparrow, tokoh yang diperankan Johnny Depp dalam sebuah film, yang mengucapkannya, "Bukan pembohong yang perlu kau khawatirkan, karena pembohong akan selalu teguh berbohong. Orang jujurlah yang perlu kau perhatikan, karena mereka sering kali berbuat bodoh!"
+++
Editor itu tertawa lepas mendengar jawaban yang saya berikan. "Ente demen komik karena komik (secara sifat kebendaannya) tak pernah punya pretensi untuk menjadi benar ya?"
Saya jawab lagi dengan cengiran.
Wednesday, November 1, 2006
Riyo Dela Macho
Thursday, October 26, 2006
Cerita Di Balik Bergantinya Sampul Muka
Editor-in-Chief Tempo Edisi Bahasa Inggris (TEBI) minta supaya desain sampul muka majalah TEMPO TEBI diganti. Alasannya, supaya tampak berbeda dengan cover TEMPO versi Indonesia. And she also wanted to emphasize the words ENGLISH EDITION. Alasan lainnya, Bagian Pemasaran juga minta perubahan desain sampul muka tampak jelas, agar angka penjualannya meningkat, yang tentunya berimplikasi pada pemasukan iklan dan penjualan.
Setelah seminggu ngutak-ngatik, ini lah jadinya. Sebenarnya ada beberapa variant warna yang sesuai dengan corporate color.
Painter Oldies
The Hujaters
Setelah sekian lama hanya mem-post kerjaan-kerjaan kantor, kini saatnya meng-upload kerjaan rumahan. Tokoh-tokoh Hujaters yang telah sekian lama terlupakan dan tak pernah digambar, kemarin iseng-iseng digambar lagi. Ada beberapa tokoh yang tertinggal, seperti Amoel, Dian Spaun, Lexus, dsb.-dsb.
Kalau mau datang ke blog milik Hujaters tinggal klik link slemcomics di sebelah kanan ocehan ini. Chuellenk!
Saturday, October 7, 2006
Selundupan Eric
Ketangkep ni yeee.
Gambar tokoh dibuat di atas kertas Canson—oh, kok gak bosen-bosen. Wajahnya diarsir dengan pensil HB Staedler, ditimpa dengan drawing pen Rotring, di-finishing dengan tinta pena Parker. Aksen warnanya dari Aquatone Derwent. Uang dan Beretta-nya—sudah jelas kan?— ditimpa di Adobe Photoshop.
B.J. Habibie dan Dua Pembisik
Wednesday, September 27, 2006
El Fuego
Sudah berbulan-bulan dikirim tapi belum juga dimuat. Ah, biarkan. Muat saja di sini.
Nah, untuk ilustrasi ini, seluruhnya dikerjakan dalam komputer. Gambar-gambarnya didapat dari internet dan pemotretan. Kemudian diolah di Adobe Illustrator, sampai akhirnya ke Adobe Photoshop. Vektor-vektornya dibentuk menggunakan tablet buatan Wacom, dengan variable brush.
Tuesday, September 26, 2006
Teroris dalam Layout
Gambar teroris dalam sketchbook sudah saya gambar kembali di atas kertas Canson. Menurut penulis yang meminta saya mengilustrasikan para teroris, selain menggunakan jaket peledak, ada 3 macam cara peledakan lain, yaitu tas, sepeda motor, dan mobil.
Ini layout akhir yang dicetak. Ilustrasi digabungkan dengan peta, dan foto-foto para teroris, serta kalender trend pengeboman. Layout inilah yang disebut sebagai infografis. Dalam kasus ini, infografis terdiri dari beberapa diagram, peta, dan kalender.
Saturday, September 23, 2006
Teror dari Dalam Jaket
Monday, September 4, 2006
Vakum Karena Pindahan
Sorry banget belum memposkan gambar-gambar. Saya belum belum sempat menggambar karena pindah ke tempat baru. Jadi tunggu beberapa saat lagi ya.
Saturday, August 12, 2006
Saturday, August 5, 2006
Logo ITB vs. Logo ITB
Logo ITB dari stilasi Ganesha. Didesain oleh Srihadi. |
Tahun 1959, ITB merilis logonya sendiri seketika diresmikan oleh pemerintah Republik Indonesia. Bentuknya merupakan stilasi dari Ganesha. Yang menurut saya, adalah logo perguruan tinggi yang relatif paling maju di jamannya. Pendapat saya lagi, logo Ganesha, yang dirancang oleh Srihadi, sudah menjadi logo yang 'klasik', cukup tahan oleh hantaman waktu. Rekan-rekan boleh bandingkan logo ITB tersebut dengan logo Universitas Indonesia.
Tapi jangan sombong dulu. Logo UI, yang merupakan stilasi pohon pengetahuan, pun dirancang oleh mahasiswa ITB angkatan 1951. Kala itu ITB masih bernama Fakulteit Teknik Universiteit Indonesia, Bandung.
Menggunakan referensi yang diberikan rekan Icus, logo Ganesha setara dengan Cornell University. Bukan dari zaman sekarang, tapi masih mampu bertahan. Kalau logo Ganesha dibandingkan dengan logo Nanyang Technological University, saya lebih merasa logo Ganesha lebih industrial, karena menurut saya sih, logo NTU masih bercitra imperial.
Massachusett Institute of Technology? Dahsyat! Logo yang sungguh-sungguh masa kini. Benar-benar zaman sekarang. Logo MIT meninggalkan segala macam dekorasi yang dianggap tidak perlu. Sungguh-sungguh menuju desain yang abstrak, tentu dirancang benar sehingga beridentitas kuat.
Prijanto, selaku suksesor Srihadi, merancang ulang logo ITB dengan gaya yang benar-benar saya kenal sebagai gayanya Prijanto. Terus terang, waktu logo Ganesha diganti dengan logotype ITB, saya terkejut dan bayangan saya tentang ITB, terjungkirbalikkan. Dipandang-pandang... bagus juga.
Logotype ITB yang didesain Prijanto |
Kalau boleh saya membandingkan logo ITB ala Srihadi dengan logotype ITB ala Prijanto, masing-masing mewakili zamannya. Dua-duanya tidak ada yang buruk. Srihadi, dugaan saya, meninggalkan desain ala kolonial dengan segala macam dekorasi ala coat of arms-nya pemerintahan Hinda Belanda. Berhasil dia. Logo desain Srihadi sudah sama kelasnya dengan logo Kuda Jingkrak milik Ferrari.
Prijanto sebagai penerusnya, dugaan saya juga, menelanjangi lagi logo Ganesha. Menanggalkan segala macam dekorasi dan bentuk fisik, menunju abstraksi. Seperti logotype MIT, bedanya: ada corak etnik dalam desain Prijanto. Terus terang, selain kesan etnik, kesan lain yang saya dapat dari logotype ITB adalah kesan purba dan mistis. Dua kesan itu jangan dianggap buruk, karena seperti yang saya bilang, logotype buatan Prijanto bagus juga.
Ditanggalkannya segala macam dekorasi yang melekat pada logo Ganesha sehingga ber-revolusi menjadi logotype ITB, menyebabkan logotype ITB yang baru ini memiliki kesempatan mendapatkan perlakuan grafis yang berbeda dengan pendahulunya. Coba saja bolak-balikkan atau jungkirbalikkan logotype itu. Kesan khasnya tidak hilang, walaupun kalau diputar 180 derajat jadi mirip abjad Arab. Kelemahannya, kalau logotype tersebut terpangkas, akan kehilangan corak khasnya. Setiap plus pasti ada minusnya lah.
Pekerjaan mengganti logo bertambah berat dengan tertancapnya logo Ganesha sebagai simbol ITB di kalangan masyarakat umum. Logo Ganesha makin sulit dicabut ketika menancap di angan-angan orang-orang yang Ganesha-Enthusiast. Makin sulit lagi, logotype buatan Prijanto meninggalkan bentuk humanoid yang mudah diterima masyarakat.
Keluar topik sedikit, cerita logo ini identik dengan perkembangan gambar di dinding gua yang berkembang menjadi pictogram yang kemudian menjadi abstrak dengan ditemukannya abjad.
Setuju dengan rekan Ismiaji, adalah sebuah regresi kalau logotype ITB kembali ke logo Ganesha. Buat apa berpayah-payah membuat logo baru kalau akhirnya kembali ke masa lalu. Untuk apa menjabarkan segala macam bentuk visual era informasi untuk kembali ke era industrialisme, atau bahkan ke era imperialisme. Sia-sia.
ITB bukan anak cucu kolonialisme. Bukan pula klub sepakbola dengan coat of arms penuh dekorasi imperialisme. ITB adalah garda depan. ITB harus berani membuat terobosan, pembaruan. ITB bukan menara gading. Tradisi ITB adalah menciptakan masa depan, tradisi ITB bukan berbangga-bangga dengan keberhasilan pendahulunya.
Thursday, August 3, 2006
26 Tahun Penuh Amarah
Gambar yang masih belum diolah. Di-scan langsung tanpa mengubah apa pun. Jangan lupa, gambar di-scan dengan color photo setting. Color photo descreening setting digunakan untuk men-scan gambar yang sudah dicetak.
Detail gambar. Cahaya yang datang dari bawah membuat shading-nya terbalik dengan shading cahaya biasa.
Gambar yang sudah diolah dalam Photoshop
Pensil HB Staedler dan AquaTone Derwent, di atas kertas Canson khusus cat air. Ngerjainnya sih nyantai, akhirnya menghabiskan waktu sekitar 3 jam dengan hipnosis.
Sengaja membuat lagi gambar dengan tema api, supaya mengenal api lebih baik. Di bagian leher kaus api tampak akurat warnanya, tapi tak begitu akurat di ujung lidah api di atas ubun-ubun. Warnya sungguh tak alami. Mungkin juga karena warna yang dipergunakan untuk dua ilustrasi terakhir masih sama. Mungkin kalau ditambahi sedikit warna merah yang lebih gelap, hasilnya akan sedikit berbeda.
Menggambar itu terapi menghilangkan ketegangan. Pikiran buruk terbuang oleh sapuan kuas.
Saturday, July 29, 2006
Makam Berkobar
Friday, July 28, 2006
Dengan Jaket Hujan
Pemanasan. Setelah sekian lama tangan ini menganggur, akhir inilah hasil pemanasan menggambar. Dibuat dalam buku yang membuat sketsa-sketsa yang saya buat.
Modalnya seperti biasa: Staedler HB, Derwent Aquatone, Faber-Castell Aquarelle, dan sebuah kuas ajaib. Caranya juga biasa banget: dilapis, dilapis, dan dilapis sampai mendapatkan warna yang diinginkan. Oh, ya gambarnya sengaja sedikit dipangkas atas bawah, menjaga kesopanan.
P.S. Sungguh aneh. Tulisan-tulisan saya biasanya eksplosif dengan dialek Jakarta. Tapi demi menjaga perasaan, saya berusaha menulis halus.
Pada Mulanya
Dalam sebuah diskusi kecil dalam ruangan yang juga kecil, seorang rekan berbagi cerita tentang blogosphere, sebuah dunia luas yang menempati wadah yang juga luas.
Awalnya, saya tak terlalu serius memperhatikan blog, kecuali dua buah blog. Sejak si pembawa cerita menjelaskan panjang lebar soal blogosphere tadi, seolah otak yang karatan mulai berpikir untuk memberikan kontribusi untuk jagat komik lagi, tak hanya menjadi vacuum cleaner yang menyedot semua keinginan dan tak pernah ada outputnya.
Awalnya, saya tak terlalu serius memperhatikan blog, kecuali dua buah blog. Sejak si pembawa cerita menjelaskan panjang lebar soal blogosphere tadi, seolah otak yang karatan mulai berpikir untuk memberikan kontribusi untuk jagat komik lagi, tak hanya menjadi vacuum cleaner yang menyedot semua keinginan dan tak pernah ada outputnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)