Saturday, August 12, 2006

Orat-oret Hari Ini





Dua gambar yang saya kerjakan ketika mengisi waktu menunggu pekerjaan datang kala tenggat.

Saturday, August 5, 2006

Logo ITB vs. Logo ITB

Logo ITB dari stilasi Ganesha. Didesain oleh Srihadi.

Tahun 1959, ITB merilis logonya sendiri seketika diresmikan oleh pemerintah Republik Indonesia. Bentuknya merupakan stilasi dari Ganesha. Yang menurut saya, adalah logo perguruan tinggi yang relatif paling maju di jamannya. Pendapat saya lagi, logo Ganesha, yang dirancang oleh Srihadi, sudah menjadi logo yang 'klasik', cukup tahan oleh hantaman waktu. Rekan-rekan boleh bandingkan logo ITB tersebut dengan logo Universitas Indonesia.

Tapi jangan sombong dulu. Logo UI, yang merupakan stilasi pohon pengetahuan, pun dirancang oleh mahasiswa ITB angkatan 1951. Kala itu ITB masih bernama Fakulteit Teknik Universiteit Indonesia, Bandung.

Menggunakan referensi yang diberikan rekan Icus, logo Ganesha setara dengan Cornell University. Bukan dari zaman sekarang, tapi masih mampu bertahan. Kalau logo Ganesha dibandingkan dengan logo Nanyang Technological University, saya lebih merasa logo Ganesha lebih industrial, karena menurut saya sih, logo NTU masih bercitra imperial.

Massachusett Institute of Technology? Dahsyat! Logo yang sungguh-sungguh masa kini. Benar-benar zaman sekarang. Logo MIT meninggalkan segala macam dekorasi yang dianggap tidak perlu. Sungguh-sungguh menuju desain yang abstrak, tentu dirancang benar sehingga beridentitas kuat.

Prijanto, selaku suksesor Srihadi, merancang ulang logo ITB dengan gaya yang benar-benar saya kenal sebagai gayanya Prijanto. Terus terang, waktu logo Ganesha diganti dengan logotype ITB, saya terkejut dan bayangan saya tentang ITB, terjungkirbalikkan. Dipandang-pandang... bagus juga.

Logotype ITB yang didesain Prijanto

Kalau boleh saya membandingkan logo ITB ala Srihadi dengan logotype ITB ala Prijanto, masing-masing mewakili zamannya. Dua-duanya tidak ada yang buruk. Srihadi, dugaan saya, meninggalkan desain ala kolonial dengan segala macam dekorasi ala coat of arms-nya pemerintahan Hinda Belanda. Berhasil dia. Logo desain Srihadi sudah sama kelasnya dengan logo Kuda Jingkrak milik Ferrari.

Prijanto sebagai penerusnya, dugaan saya juga, menelanjangi lagi logo Ganesha. Menanggalkan segala macam dekorasi dan bentuk fisik, menunju abstraksi. Seperti logotype MIT, bedanya: ada corak etnik dalam desain Prijanto. Terus terang, selain kesan etnik, kesan lain yang saya dapat dari logotype ITB adalah kesan purba dan mistis. Dua kesan itu jangan dianggap buruk, karena seperti yang saya bilang, logotype buatan Prijanto bagus juga.

Ditanggalkannya segala macam dekorasi yang melekat pada logo Ganesha sehingga ber-revolusi menjadi logotype ITB, menyebabkan logotype ITB yang baru ini memiliki kesempatan mendapatkan perlakuan grafis yang berbeda dengan pendahulunya. Coba saja bolak-balikkan atau jungkirbalikkan logotype itu. Kesan khasnya tidak hilang, walaupun kalau diputar 180 derajat jadi mirip abjad Arab. Kelemahannya, kalau logotype tersebut terpangkas, akan kehilangan corak khasnya. Setiap plus pasti ada minusnya lah.

Pekerjaan mengganti logo bertambah berat dengan tertancapnya logo Ganesha sebagai simbol ITB di kalangan masyarakat umum. Logo Ganesha makin sulit dicabut ketika menancap di angan-angan orang-orang yang Ganesha-Enthusiast. Makin sulit lagi, logotype buatan Prijanto meninggalkan bentuk humanoid yang mudah diterima masyarakat.

Keluar topik sedikit, cerita logo ini identik dengan perkembangan gambar di dinding gua yang berkembang menjadi pictogram yang kemudian menjadi abstrak dengan ditemukannya abjad.

Setuju dengan rekan Ismiaji, adalah sebuah regresi kalau logotype ITB kembali ke logo Ganesha. Buat apa berpayah-payah membuat logo baru kalau akhirnya kembali ke masa lalu. Untuk apa menjabarkan segala macam bentuk visual era informasi untuk kembali ke era industrialisme, atau bahkan ke era imperialisme. Sia-sia.

ITB bukan anak cucu kolonialisme. Bukan pula klub sepakbola dengan coat of arms penuh dekorasi imperialisme. ITB adalah garda depan. ITB harus berani membuat terobosan, pembaruan. ITB bukan menara gading. Tradisi ITB adalah menciptakan masa depan, tradisi ITB bukan berbangga-bangga dengan keberhasilan pendahulunya.

Thursday, August 3, 2006

26 Tahun Penuh Amarah


Gambar yang masih belum diolah. Di-scan langsung tanpa mengubah apa pun. Jangan lupa, gambar di-scan dengan color photo setting. Color photo descreening setting digunakan untuk men-scan gambar yang sudah dicetak.


Detail gambar. Cahaya yang datang dari bawah membuat shading-nya terbalik dengan shading cahaya biasa.


Gambar yang sudah diolah dalam Photoshop

Pensil HB Staedler dan AquaTone Derwent, di atas kertas Canson khusus cat air. Ngerjainnya sih nyantai, akhirnya menghabiskan waktu sekitar 3 jam dengan hipnosis.

Sengaja membuat lagi gambar dengan tema api, supaya mengenal api lebih baik. Di bagian leher kaus api tampak akurat warnanya, tapi tak begitu akurat di ujung lidah api di atas ubun-ubun. Warnya sungguh tak alami. Mungkin juga karena warna yang dipergunakan untuk dua ilustrasi terakhir masih sama. Mungkin kalau ditambahi sedikit warna merah yang lebih gelap, hasilnya akan sedikit berbeda.

Menggambar itu terapi menghilangkan ketegangan. Pikiran buruk terbuang oleh sapuan kuas.